PEMUDA ISLAM

WAHAI PARA PEMUDA ISLAM BERGABUNGLAH BERSAMA BARISAN PEJUANG PENEGAK SYARIAH DAN KHILAFAH ISLAM

Sabtu, 28 Mei 2011

MENGENAL HIZBUT TAHRIR



                                                  MENGENAL HIZBUT TAHRIR

 - Ta’rif Hizb Tahrir -


Kata Pengantar
Hizbut Tahrir adalah suatu partai politik Islam,
yang berdiri pada tahun 1953 M/1372 H dan bertujuan untuk melangsungkan kehidupan Islam dan menegakkan kembali khilafah Islam. Gerakan ini hanya ada di negara-negara Timur Tengah. Namun demikian, pemikiran dan buku-bukunya tersebar luas di seluruh dunia, termasuk Eropa dan Amerika.
Hizbut Tahrir sendiri, meskipun sudah 38 tahun umurnya, belum pernah menuliskan sejarahnya. Hal ini karena Hizbut Tahrir masih aktif bergerak di tengah-tengah masyarakat, dan belum berniat mengabadikan aktifitas-aktifitasnya dalam lembaran sejarah. Menurutnya, sejarah akan diabadikan nanti setelah Hizb mencapai tujuannya. Bukannya sekarang.
Dalam buku ini, pimpinan Hizbut Tahrir tidak hendak menuturkan sejarah Hizbut Tahrir, melainkan hanya ingin memperkenalkannya sebagai gerakan Islam secara garis besar. Juga, agar pembaca mengenal langsung gerakan ini dari sumbernya, bukan sekedar menerimanya dari ‘orang luar’ yang sengaja mengenalkan gerakan ini secara keliru.
Memang ada beberapa hal yang menyebabkan demikian, diantaranya karena adanya paksaan dari pihak penguasa atau adanya rasa iri hati, dengki dan lain sebagainya. Seperti halnya Badan Intelijen Yordania yang telah menekan almarhum Abdullah Azzam (seorang kandidat pemimpin Ikhwanul Muslimin di Yordan) untuk mengarang buku “Ad Dakwah Al Islamiyah Faridhatun Syar’iyah Wa Dlaruratun Basyariyah” dan diterbitkan atas nama samaran beliau Dr. M. Shadiq Amin. Buku tersebut telah di terbitkan di Malaysia dan disponsori oleh pemerintah Saudi untuk menyudutkan dan menyerang Hizbut Tahrir. Bahkan oleh pemerintah Saudi buku tersebut dibagikan dengan cuma-cuma kepada para mahasiswa asing di sana. Demikian juga dengan karangan Husein bin Muhsin bin Ali Jabir (salah seorang pendukung Ikhwanul Muslimin) yaitu buku “At Thariq Ila Jama’atil Muslimin” –yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh Gema Insani, dengan judul “Membentuk Jama’atul Muslimin”–, dimana dengan buku ini penulisnya memperoleh Magister di Universitas Islam Madinah. Masih banyak lagi buku-buku lain, karangan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin maupun pengikutnya yang telah membuka front dengan Hizbut Tahrir di seluruh dunia, hanya karena perbedaan pendapat, atau rasa iri hati ataupun karena mereka sengaja bersekongkol dengan para penguasa, terutama di Timur Tengah, untuk menghancurkan Hizbut Tahrir.
Buku-buku tersebut jelas tidak dapat dijadikan rujukan untuk mengenal Hizbut Tahrir, karena semuanya penuh kebohongan dan tipuan. Siapa saja yang ingin mengetahui pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat Hizbut Tahrir secara lebih rinci, maka tepatlah bila ia merujuk pada terbitan-terbitan yang dikeluarkan Hizbut Tahrir sendiri, baik dalam bentuk buku, buklet, ataupun selebaran-selebaran, dan bukan dengan cara merujuk pada buku-buku karangan orang luar.
Dengan menelaah buku ini, paling tidak pembaca dapat membandingkan buku-buku tersebut di atas ataupun yang lainnya dengan buku-buku terbitan Hizbut Tahrir, sehingga mereka akan memperoleh informasi yang benar tentang gerakan Islam Hizbut Tahrir ini.
MENGENAL HIZBUT TAHRIR
I. HIZBUT TAHRIR
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berlandaskan Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah mabda`nya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya (vital), serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah dalam realita kehidupan ini.
Hizbut Tahrir merupakan kelompok politik, bukan kelompok yang hanya berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiyah (seperti lembaga study agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan Hizbut tahrir bukan pula lembaga sosial (yang hanya bergerak di bidang sosial kemasyarakatan). Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti dan sekaligus sebagai rahasia kelangsungan kelompoknya.
II. LATAR BELAKANG BERDIRINYA HIZBUT TAHRIR
Hizbut Tahrir didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah:
“(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (yang akan masuk surga).” (QS Ali Imran: 104)
Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang demikian parah; membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan dan hukum-hukum kufur; serta membebaskan mereka dari kekuasaan dan dominasi negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga untuk membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga urusan pemerintahan dapat dijalankan kembali sesuai dengan apa yang diturunkan Allah SWT.
A. Keharusan Berdirinya Partai-partai Politik Menurut Syara’.
Tentang berdirinya Hizb sebagai upaya memenuhi seruan Allah SWT:
“(Dan) Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat”,
tidak lain karena di dalam ayat ini, Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin agar diantara mereka ada suatu kelompok (jama’ah) yang terpadu, yang memiliki dua tugas:
(1) Mengajak kepada kebaikan, yaitu mengajak kepada Islam,
(2) Menyeru kepada yang ma’ruf (melaksanakan syari’at) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran terhadap syari’at).
Bentuk perintah untuk membentuk jama’ah terpadu disini, memang sekedar menunjukkan adanya thalab/ajakan (dari Allah). Namun demikian, terdapat qarinah (indikasi) lain yang menunjukan bahwa ajakan tersebut adalah suatu keharusan. Sehingga kegiatan yang telah ditentukan oleh ayat agar dilaksanakan oleh kelompok terpadu tersebut, –yakni da’wah kepada Islam dan amar ma’ruf nahi munkar– hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin untuk melakukannya. Hal ini diperkuat oleh banyak ayat lain, serta hadits-hadits Rasulullah saw. Diantaranya sabda beliau:
“Demi Dzat yang diriku berada di tanganNya, sungguh kalian (mempunyai dua pilihan, yaitu) melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisiNya yang akan menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian berdo’a, maka (do’a itu) tidak akan dikabulkan.” (Sunan Tirmidzi no. 2259)
Berarti hadits ini merupakan salah satu qarinah bahwa tholab tersebut adalah thalab yang bersifat keharusan, dan perintah yang ada adalah wajib.
Tentang jama’ah terpadu itu harus berbentuk partai politik, dapat dilihat dari segi; bahwa ayat di atas memerintahkan kaum muslimin agar diantara mereka ada sekelompok orang yang membentuk suatu jama’ah; dan dari segi telah ditentukannya kegiatan jama’ah tersebut, berupa da’wah kepada Islam dan amar ma’ruf nahi munkar.
Sedangkan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar, mencakup di dalamnya menyeru para penguasa agar mereka berbuat ma’ruf (melaksanakan syari’at Islam) dan melarangnya berbuat munkar (melaksanakan sesuatu yang tidak bersumber dari syari’at, misalnya bersikap zhalim, fasik, dan lain-lain). Bahkan inilah bagian terpenting dalam kegiatan amar ma’ruf nahi munkar; yaitu mengawasi para penguasa serta menyampaikan nasehat kepadanya. Dan kegiatan-kegiatan seperti ini merupakan kegiatan politik, bahkan termasuk kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama dari kegiatan Partai-partai Politik. Dengan demikian ayat ini menunjukkan adanya kewajiban mendirikan Partai-partai Politik.
Hanya saja ayat tersebut memberi batasan bahwa hendaknya kelompok-kelompok tadi berbentuk partai-partai Islam. Sebab, tugas yang telah ditentukan oleh ayat tersebut –yang tidak lain adalah da’wah kepada Islam dan amar ma’ruf nahi munkar, yang dilakukan sesuai dengan hukum Islam– tidak dapat dilaksanakan, kecuali oleh kelompok-kelompok dan partai-partai Islam.
Sedangkan partai Islam adalah partai yang berasaskan Aqidah Islam. Partai yang mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problema yang Islami. Thariqah operasionalnya adalah thariqah Rasulullah saw.
Oleh karena itu, tidak dibolehkan kelompok-kelompok kaum muslimin berdiri di atas dasar selain Islam, baik itu menyangkut fikrah (pemikiran dasar) maupun thariqahnya. Hal ini disamping karena Allah SWT telah memerintahkan demikian, juga karena Islam adalah satu-satunya mabda` (prinsip ideologi) yang benar dan tepat di muka bumi ini. Islam adalah mabda` universal, sesuai dengan fithrah manusia, dan dapat memberikan jalan pemecahan kepada manusia sebagaimana layaknya kedudukan manusia. Karenanya, Islam telah mengarahkan potensi hidup manusia –yang berupa gharizah (naluri) dan hajatun ‘udlawiyah (tuntutan jasmani)–, yaitu dengan mengaturnya dan mengatur pemecahannya dengan suatu tatanan yang benar, tidak mengekang dan tidak pula melepaskannya sama sekali, gharizah yang satu tidak mendominasi gharizah yang lain. Islam adalah mabda` yang mengatur seluruh aspek kehidupan.
Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin agar selalu terikat dengan hukum-hukum Islam secara menyeluruh, baik menyangkut hubungannya dengan Pencipta, seperti masalah-masalah aqidah dan ibadah; atau menyangkut hubungannya dengan dirinya sendiri, seperti hukum-hukum akhlaq, hukum-hukum tentang makanan, pakaian dan lain-lain; ataupun menyangkut hubungannya dengan sesama, seperti hukum-hukum mu’amalah dan perundang-undangan.
Allah SWT juga telah mewajibkan agar kaum muslimin menerapkan Islam secara totalitas dalam seluruh aspek kehidupannya; dan agar mereka menjalankan pemerintahan dengan Islam; serta agar konstitusi dan seluruh undang-undang mereka, merupakan hukum-hukum syara’ yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Allah SWT berfirman:
“Maka putuskanlah perkara (pengadilan) atas mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (hukum Allah) yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah: 48)
“(Dan) Hendaklah kamu memutuskan perkara (pengadilan) diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Dan) Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS Al Maidah: 49)
Maka menurut Islam tidak menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum Islam berarti telah kufur, seperti dijelaskan dalam firman Allah:
“(Dan) Siapa saja yang tidak memutuskan perkara (menjalankan urusan pemerintahan dan pengadilan) dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS Al Maidah: 44)
Semua mabda` selain Islam, seperti mabda` Kapitalis, mabda` Sosialis yang diantaranya adalah komunis, tidak lain merupakan mabda`-mabda` rusak, dan bertentangan dengan fithrah manusia. Mabda`-mabda` itu adalah buatan manusia, sudah nampak nyata kerusakannya, dan telah terbukti cacat-celanya. Mabda`-mabda` itu semuanya bertentangan dengan Islam dan hukum-hukumnya. Sehingga; mengambilnya, menyebarluaskannya, dan berkelompok berdasarkan mabda`-mabda` itu adalah termasuk hal-hal yang diharamkan oleh Islam.
Oleh karena itu, dalam berkelompok kaum muslimin wajib berdasarkan Islam semata, baik fikrah maupun thariqahnya. Diharamkan bagi mereka berkelompok atas dasar Kapitalisme, Komunisme, Sosialisme, Nasionalisme, Patriotisme, fanatisme golongan (sekte), Aristokratis, atau berkelompok atas dasar pemikiran Free Masonry.
Berdasarkan hal ini maka kaum muslimin diharamkan untuk mendirikan partai-partai Komunis, Sosialis, Kapitalis, Nasionalis, Patriotik, sektarian,dan partai Free Masonry. Termasuk menjadi anggota dan simpatisannya, karena kesemuanya merupakan partai-partai kufur yang mengajak kepada kekufuran. Sedangkan Allah SWT telah berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tiadalah akan diterima (agamanya itu) dari padanya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang rugi (yang akan masuk neraka).” (QS Ali Imran: 85)
Juga firmanNya dalam ayat yang kami jadikan patokan di sini, yaitu:
(mengajak kepada kebaikan) dapat diartikan dengan mengajak kepada Islam.
Rasulullah saw bersabda pula:
“Barangsiapa yang berbuat suatu amal perbuatan yang bukan berasal dariku, maka amal perbuatannya itu tertolak.” (Shahih Muslim, no. 18, 1718)
“Barangsiapa mengajak kepada ‘ashabiyah (fanatisme golongan), maka dia tidak termasuk golonganku.” (Sunan Abu Dawud, no. 5121)
Adapun upaya untuk membangkitkan umat dari kemerosotan yang dideritanya; membebaskannya dari ide-ide, sistem perundang-undangan dan hukum-hukum kufur, serta dari kekuasaan dan dominasi negara-negara kafir, maka sesungguhnya dapat ditempuh dengan jalan meningkatkan taraf berfikir umat, yaitu dengan merubah ide-ide dan persepsi-persepsi yang menyebabkan kemerosotannya secara mendasar dan menyeluruh, lalu mewujudkan ide-ide dan pemahaman-pemahaman Islam yang benar kepadanya. Sehingga dapat membentuk tingkah laku ummat dalam kehidupan ini, sesuai dengan ide-ide dan hukum-hukum Islam.
B. Sebab-sebab Kemerosotan Ummat Islam
Sesungguhnya penyebab kemerosotan yang sangat fatal dan tidak pantas dialami oleh umat ini adalah akibat sangat lemahnya kaum muslimin (sehingga membelenggu dan menjerumuskan pemikiran mereka) dalam memahami dan melaksanakan Islam. Hal ini diakibatkan oleh faktor-faktor yang mengkaburkan fikrah beserta thariqahnya, yang dilancarkan sejak abad kedua Hijriyah sampai saat ini. Faktor-faktor tersebut muncul karena beberapa hal, diantaranya yang paling menonjol:
(1) Transfer filsafat-filsafat India, Persia dan Yunani, serta adanya upaya sebagian kaum muslimin untuk mengkompromikannya dengan Islam, walaupun terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya.
(2) Adanya manipulasi ajaran Islam oleh orang-orang yang membenci Islam. Baik berupa ide-ide atau hukum-hukum yang sebenarnya tidak bersumber dari Islam, dengan tujuan merusak citra Islam dan menjauhkan kaum muslimin dari Islam.
(3) Diabaikannya bahasa Arab dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam, disusul kemudian dengan dipisahkannya dari Islam pada abad ketujuh Hijriyah. Padahal agama Islam tidak mungkin dapat dipahami tanpa bahasa Arab. Seperti misalnya dalam pengambilan hukum-hukum baru pada berbagai peristiwa yang berkembang, yang dilakukan dengan jalan ijtihad; ini tidak akan dapat dilakukan, tanpa menggunakan bahasa Arab.
(4) Serangan gelombang missionaris, dan serangan (orientalis) dalam bidang kebudayaan, menyusul serangan secara politis (yang mendominasi dunia Islam) dari negara-negara kafir Barat, sejak abad ke-17 Masehi, dengan tujuan mengalihkan pandangan dan menjauhkan kaum muslimin dari Islam, yang pada akhirnya untuk menghancurkan Islam.
C. Sebab-sebab Kegagalan Umat Islam
Berbagai macam usaha untuk membangkitkan kaum muslimin telah banyak dilakukan, juga melalui berbagai bentuk gerakan, baik yang Islami maupun tidak Islami. Namun kesemuanya telah mengalami kegagalan, dan belum mampu membangkitkan kaum muslimin, bahkan tidak mampu membendung kemerosotan umat yang fatal tersebut.
Adapun sebab-sebab kegagalan seluruh usaha dan gerakan untuk membangkitkan kembali kaum muslimin atas dasar Islam adalah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
(1) Tidak adanya pemahaman yang terperinci mengenai fikrah dari pihak-pihak yang berupaya membangkitkan kembali ummat, karena mereka terpengaruh berbagai faktor yang mengaburkan. Da’wah Islam yang mereka lakukan masih bersifat ‘umum’ dan terbuka, tanpa menentukan ide-ide dan hukum-hukum mana yang ingin digunakan untuk membangkitkan umat, serta tidak mampu mengatasi segala macam problemanya melalui ide-ide Islam berikut pelaksanaannya. Penyebabnya, adalah belum adanya gambaran yang jelas terhadap ide-ide dan hukum-hukum Islam di dalam benaknya. Pemikiran mereka lebih banyak bertolak dari situasi yang ada, lalu dijadikannya hal itu sebagai sumber inspirasi.
Mereka mencoba untuk mena’wilkan dan menafsirkan Islam dengan pena’wilan dan penafsiran yang tidak sesuai dengan apa yang tersirat dalam “Nash” (teks AlQur’an dan Sunnah), hingga akhirnya disesuaikan dengan kondisi yang ada, kendatipun berlawanan dengan Islam. Sayangnya yang mereka lakukan bukan usaha sebaliknya, yakni menyesuaikan kondisi yang ada dengan Islam, sehingga terjadi perubahan-perubahan yang sejalan dengan hukum-hukum Islam.
Oleh karena itu tidak aneh apabila mereka senantiasa menyerukan slogan-slogan kebebasan, Demokrasi, Kapitalisme, dan Sosialisme. Karena mereka menganggap bahwa hal itu berasal dari Islam, padahal secara keseluruhan semua itu sangat bertentangan.
(2) Tidak adanya kejelasan bagi mereka mengenai metodologi Islam dalam menerapkan ide-ide dan hukum-hukum Islam dalam suatu gambaran yang jelas dan sempurna. Mereka menyampaikan ide-ide tersebut melalui media yang tidak terencana dan dalam bentuk-bentuk yang diliputi kesamaran.
Mereka beranggapan bahwa kembalinya Islam dapat ditempuh dengan cara-cara; membangun banyak masjid, menerbitkan buku-buku Islam atau dengan jalan mendirikan organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, atau perusahaan koperasi yang Islami, atau hanya melalui pendidikan akhlaq dan pembinaan individu semata, tanpa memperhatikan kebejatan masyarakat dan cengkeraman ide-ide kufur berikut hukum-hukum dan sistem perundangan-undangannya yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Mereka mengira bahwa perbaikan masyarakat akan terjadi hanya melalui perbaikan individu-individunya, padahal perbaikan masyarakat hanya akan terwujud dengan cara meluruskan kembali ide-ide, perasaan-perasaan serta aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Meluruskan dan memperbaiki aspek ini akan membawa kepada perbaikan anggotanya, karena masyarakat bukan hanya terdiri dari individu saja, melainkan sekumpulan individu berikut interaksinya. Dengan kata lain masyarakat itu terdiri dari sejumlah individu, ide-ide yang dianutnya dan perasaan yang menentukan sikap individu, beserta aturan-aturan yang diakui oleh anggota masyarakat tersebut.
Cara seperti inilah yang telah dilakukan Rasulullah saw dalam mengubah masyarakat Jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Beliau berusaha mengubah aqidah yang berlaku saat itu dengan aqidah Islam; mengubah pemikiran dan persepsi-persepsi, serta tradisi-tradisi Jahiliyah dengan pemikiran-pemikiran, persepsi-persepsi dan hukum-hukum Islam. Dari sinilah perasaan masyarakat Arab dapat berubah dari keterikatan terhadap aqidah, ide-ide dan tradisi-tradisi jahiliyah menjadi terikat dengan aqidah, ide-ide dan hukum-hukum Islam. Sampai Allah SWT menentukan keberhasilan beliau dalam mengubah masyarakat Madinah. Dimana pada waktu itu, sebagian besar penduduk Madinah telah memeluk aqidah Islam, lalu mengambil dan menetapkan ide-ide, pemahaman-pemahaman dan hukum-hukum Islam. Pada saat itulah Rasulullah saw beserta para sahabatnya berhijrah ke Madinah setelah terjadi bai’at Aqabah yang kedua. Sejak saat itu beliau mulai memberlakukan hukum Islam. Dan lahirlah kemudian masyarakat Islam di Madinah.
Ada juga diantara kaum muslimin yang menggunakan metode kekuatan fisik, mengangkat senjata, tanpa membedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur, antara metode menyampaikan da’wah dan menentang kemunkaran di masing-masing tempat tersebut (yaitu di Darul Islam ataukah di Darul Kufur).
Sedangkan negara yang kita tempati saat ini adalah darul Kufur, karena di dalamnya diterapkan hukum-hukum Kufur. Keadaan ini mirip dengan keadaan di Makkah, pada saat Rasulullah saw diutus. Cara mengemban dakwah dalam keadaan seperti ini adalah dengan dakwah (secara lisan) dan kegiatan politik, bukan dengan menggunakan kekuatan fisik. Persis dengan cara yang telah dilakukan Rasulullah saw di Makkah, dimana Beliau membatasi aktifitasnya hanya pada kegiatan-kegiatan dakwah secara lisan saja. Beliau tidak menggunakan kekuatan fisik. Hal ini karena tujuannya bukan untuk mengubah penguasa yang melaksanakan hukum selain dari apa yang diturunkan Allah SWT di Darul Islam, melainkan bertujuan untuk mengubah Darul Kufur beserta pemikiran-pemikiran, dan peraturan-peraturan yang dapat dilakukan dengan mengubah pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan dan peraturan masyarakat yang ada di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw di Makkah.
Sedangkan Darul Islam, yang diterapkan dalamnya hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT, maka apabila penguasanya telah melaksanakan/menetapkan hukum kufur secara nyata, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menentangnya dan memberikan peringatan agar kembali kepada hukum Islam. Tetapi apabila penguasa tidak mau kembali, maka kaum muslimin wajib mengangkat senjata untuk memaksanya agar kembali kepada hukum yang telah diturunkan Allah, sebagaimana apa yang telah dijelaskan dalam hadits ‘Ubadah bin Ash Shamit:
“(Dan) Hendaknya kami tidak merampas kekuasaan dari yang berhak, kecuali (sabda Rasul:)’apabila kalian melihat kekufuran yang nyata, yang dapat dibuktikan di sisi Allah.’” (Shahih Bukhari, jilid 13, hal. 167; Shahih Muslim No. 1709)
Juga hadits Auf bin Malik yang diriwayatkan oleh Muslim:
“Ditanyakan: ‘Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka itu dengan pedang?’ Beliau menjawab: ‘Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat’.”(Shahih Muslim, no. 1855)
Mendirikan shalat disini merupakan kinayah (makna implisit) dari pelaksanaan hukum Islam. Kedua hadits ini berkaitan dengan cara meluruskan seorang penguasa muslim di Darul Islam, dan menjelaskan bagaimana cara melaksanakan koreksi, dan kapan harus menggunakan kekuatan fisik untuk mencegah timbulnya kekufuran yang nyata di Darul Islam setelah sebelumnya belum pernah terjadi.
Tentang tujuan kegiatan (Hizbut Tahrir) untuk menegakkan kembali Daulah Khilafah serta menerapkan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah ke muka bumi. Hal ini karena Allah SWT telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin agar terikat dengan seluruh hukum syara’, dan mewajibkan kaum muslimin untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah. Kesemuanya itu tidak dapat dilakukan, kecuali dengan tegaknya Daulah Islamiyah (pemerintahan Islam) dan diangkatnya seorang Khalifah yang menerapkan Islam atas (seluruh) ummat manusia.
Sejak dihapuskannya Daulah Khilafah dalam Perang Dunia Pertama, kaum muslimin hidup tanpa Daulah Islam, tanpa menerapkan lagi pemerintahan Islam. Oleh karena itu, usaha untuk mendirikan kembali Khilafah dan memberlakukan kembali hukum yang telah diturunkan Allah ke muka bumi, hukumnya adalah Fardlu secara pasti, yang telah diwajibkan oleh Islam. Kewajiban itu harus dilaksanakan dan tidak ada pilihan lain, kecuali mengerjakannya. Masalah ini tidak boleh kita pandang sepele. Melalaikan tugas ini merupakan sebesar-besarnya maksiat. Allah akan menyiksa (orang-orang yang melalaikannya) dengan siksaan yang sangat berat. Nabi Muhammad saw bersabda:
“(Dan) Siapa saja yang mati, sedang di pundaknya tidak ada bai’at (kepada seorang Khalifah), maka matinya seperti mati jahiliyah (maksudnya ia akan memikul dosa besar).” (Shahih Muslim, no. 1851)
Juga karena berdiam diri terhadap tugas ini, berarti sama dengan melalaikan pelaksanaan salah satu kewajiban utama dalam Islam. Yang mana hal ini sangat menentukan tegaknya hukum-hukum Islam, bahkan menentukan keberadaan Islam di tengah-tengah kehidupan.
“(Dan) Suatu kewajiban yang tidak dapat terlaksana, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.”
Karena itulah Hizbut Tahrir berdiri. Hizb telah menentukan berdirinya kelompok itu di atas dasar aqidah Islam. Hizb juga telah mengambil dan menetapkan ide-ide dan hukum-hukum Islam yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. Hizbut Tahrir telah menghindarkan dirinya dari seluruh kekurangan dan sebab-sebab yang membuat gagalnya kelompok-kelompok (sebelumnya) yang telah berdiri untuk membangkitkan kaum muslimin dengan Islam, sehingga Hizb dapat memahami ide-ide dan metode-metode dakwah dengan pemahaman rasional (fikriyah) dan terperinci, sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh wahyu, baik dari Kitabullah maupun Sunnah RasululNya, serta sesuai pula dengan apa yang ditunjukkan oleh dua sumber tadi, yaitu Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Hizbut Tahrir telah memperhatikan situasi (keadaan umat) dan menganggapnya sebagai sasaran pemikirannya untuk dirubah sesuai dengan hukum Islam. Hizbut Tahrir hanya mengikuti thariqah/metode da’wah Rasulullah saw dalam mengemban da’wah ketika beliau melaksanakannya di Makkah, sampai beliau (berhasil) menegakkan pemerintah Islam di Madinah. Hizbut Tahrir menjadikan ikatan aqidah dan ide-ide Islam serta hukum-hukumnya, sebagai ikatan bagi gerakan, yang akan mengikat anggota-anggotanya.
Oleh karena itu wajar jika Hizb (partai) ini dapat diterima dan didukung oleh umat untuk bersama-sama berjalan dengan Hizbut Tahrir, bahkan wajib atas umat untuk menerima dan mendukung serta berjalan bersamanya, karena Hizbut Tahrir ini merupakan satu-satunya Hizb (partai) yang telah memahami dan menguasai fikrah (prinsip)nya; melihat dengan jelas jalan da’wahnya; memahami permasalahannya; konsisten dengan Sirah Rasulullah saw, tanpa bergeser sedikitpun dari langkah-langkah beliau dan tidak ada seorang pun yang dapat membelokkannya dari tujuan da’wahnya itu.
III. TUJUAN HIZBUT TAHRIR
Hizbut Tahrir bertujuan melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban da’wah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum muslimin kembali hidup secara Islami, di Darul Islam serta di dalam masyarakat Islam. Dimana seluruh kegiatan kehidupan diatur sesuai dengan hukum-hukum Syara’; pandangan hidup yang akan menjadi pusat perhatian adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islam, yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat dan dibai’at oleh kaum muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunah RasulNya, dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan da’wah dan jihad.
Disamping itu Hizbut Tahrir bertujuan membangkitkan kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar, melalui pola berfikir yang cemerlang. Hizb berusaha untuk mengembalikan posisi ummat ke masa kejayaan dan keemasannya dulu, dimana ia dapat mengambil alih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini, dan agar kembali menjadi negara pertama di dunia sebagaimana yang telah terjadi di masa silam, dan memimpinnya sesuai dengan hukum-hukum Islam.
Hizbut Tahrir juga bertujuan untuk menyampaikan hidayah (petunjuk syari’at) bagi umat manusia; memimpin umat Islam untuk menentang ide-ide, dan sistem perundang-undangan kufur, dan kekufuran secara menyeluruh, sehingga Islam dapat menyelimuti bumi.
IV. KEANGGOTAAN HIZBUT TAHRIR
Hizbut Tahrir menerima keanggotaan setiap orang Islam, baik laki-laki maupun wanita, tanpa memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab atau bukan, berkulit putih ataupun hitam. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai untuk seluruh kaum muslimin dan menyerukan kepada ummat untuk mengemban dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh aturan-aturannya, tanpa memandang lagi ras-ras kebangsaan; warna kulit maupun madzhab-madzhab mereka. Hizbut Tahrir melihat semuanya dari pandangan Islam.
Cara mengikat individu-individu di dalam Hizb adalah dengan memeluk aqidah Islam, matang dalam Tsaqafah (ajaran) Hizb, mengambil dan menetapkan ide-ide serta pendapat Hizb. Dia sendirilah yang mengharuskan dirinya menjadi anggota Hizb, setelah sebelumnya ia melibatkan dirinya dengan Hizb; dan ketika dakwah telah berinteraksi dengannya dan dia telah mengambil dan menetapkan ide-ide serta persepsi-persepsi Hizb. Jadi Ikatan yang dapat mengikat anggota Hizbut Tahrir adalah aqidah Islam, dan Tsaqafah Hizb yang terpancar dari aqidah ini.
Halaqah-halaqah (pembinaan) wanita di dalam Hizb, terpisah dengan halaqah laki-laki. Yang memimpin halaqah-halaqah wanita adalah para suami, muhrimnya atau para wanita.
V. KEGIATAN HIZBUT TAHRIR
Kegiatan Hizbut Tahrir adalah mengemban da’wah Islam untuk mengubah situasi masyarakat yang rusak menjadi masyarakat Islam, dengan merubah ide-ide yang ada menjadi ide-ide Islam, sehingga akan menjadi opini umum pada masyarakat, serta menjadi persepsi bagi mereka yang akan mendorong mereka untuk merealisasikan dan menerapkannya sesuai dengan tuntutan Islam. Disamping merubah perasaan yang dimiliki anggota masyarakat menjadi perasaan Islam, ridla terhadap apa yang diridlai Allah, marah dan benci terhadap apa yang dimurkai dan dibenci oleh Allah, serta mengubah hubungan/interaksi yang ada di dalam masyarakat menjadi hubungan/interaksi yang Islami, berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya.
Seluruh kegiatan yang dilakukan Hizbut Tahrir adalah kegiatan yang bersifat politik. Dimana Hizb memperhatikan urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar’i, karena politik adalah mengurus dan memelihara urusan masyarakat (rakyat) banyak sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya.
Kegiatan-kegiatan yang bersifat politik ini tampak jelas di dalam mendidik dan membina umat dengan tsaqafah (kebudayaan) Islam, meleburnya dengan Islam, membebaskannya dari aqidah-aqidah yang rusak, pemikiran-pemikiran yang salah, serta dari persepsi yang keliru, yang sekaligus membebaskannya dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang kufur. Kegiatan politik ini tampak juga dalam aspek pergolakan pemikiran dan dalam perjuangan politiknya.
Adapun pergolakan pemikiran tersebut dapat terlihat dalam penentangannya terhadap ide-ide dan aturan-aturan kufur. Seperti halnya dalam penentangannya terhadap ide yang salah, aqidah-aqidah yang rusak atau pemahaman yang keliru dengan cara menjelaskan kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, yang disertai dengan menjelaskan ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut.
Adapun perjuangan politiknya, dapat terlihat dari penentangannya terhadap orang-orang kafir Imperialis untuk memerdekakan umat dari belenggu kekuasaannya, membebaskan umat dari tekanan dan pengaruhnya, serta mencabut akar-akarnya yang berupa pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam.
Perjuangan politik ini juga tampak jelas dalam menentang para penguasa, mengungkapkan pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat; melancarkan kritik, kontrol dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menngantinya apabila hak-hak umat dilangggar atau tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, begitu halnya bila mereka melalaikan salah satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum Islam.
Jadi kegiatan Hizbut Tahrir secara keseluruhan adalah kegiatan yang bersifat politik, baik sebelum maupun sesudah mengambil alih kegiatan diluar hukum pemerintahan ataupun yang menyangkut pemerintahan.
Kegiatan Hizb tidak hanya pada aspek pendidikan. Hizb bukan madrasah. Begitu pula seruannya tidak hanya bersifat nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk. Akan tetapi kegiatannya bersifat politik, dengan cara mengemukakan fikrah-fikrah Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan, dipikul dan diwujudkan dalam kenyataan hidup dan pemerintahan.
Hizbut Tahrir mengemban da’wah Islam agar Islam dapat dilaksanakan dalam kehidupan, sehingga aqidah Islam menjadi dasar negara, dasar konstitusi dan Undang-undang. Karena aqidah Islam adalah aqidah aqliyah (dasar untuk pemikiran) dan aqidah siyasiyah (dasar untuk politik) yang memancarkan aturan yang dapat memecahkan problema manusia secara keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial masyarakat dan lain-lain.
VI. TEMPAT KEGIATAN HIZBUT TAHRIR
Walaupun Islam adalah mabda’ (prinsip Ideologi) yang universal, akan tetapi –menurut metode Islam– tidak seharusnya upaya menegakkannya (sebagai mabda’) dilakukan di setiap negeri. Memang da’wah harus disampaikan ke seluruh dunia, hanya saja tempat gerakan haruslah ditetapkan pada satu atau beberapa negeri, sehingga gerakan dapat dikonsentrasikan pada tegaknya Daulah Islamiyah.
Sesungguhnya dunia secara keseluruhan merupakan tempat yang layak bagi da’wah Islam. Hanya saja, oleh karena negeri-negeri Islam mayoritas penduduknya telah memeluk Islam, wajarlah apabila da’wah bertolak dari sini. Juga oleh karena negeri-negeri Arab, yang tidak lain adalah bagian dari negeri-negeri Islam, dan berbicara dengan bahasa arab, yang merupakan bahasa Al Qur`an dan As sunnah dan merupakan bagian penting dalam Islam, serta menjadi unsur pokok dalam Tsaqafah Islam, maka negeri-negeri arablah tempat yang lebih utama untuk memulai mengemban dakwah Islam ini.
Juga karena Hizb telah berdiri lalu berkembang, dan telah mengemban dakwahnya di sebagian negeri-negeri Arab, kemudian dakwahnya mulai meluas secara alami sehingga gerakannya menyebar di banyak negeri arab dan di sebagian negeri Islam yang bukan negeri Arab.
VII. LANDASAN PEMIKIRAN HIZBUT TAHRIR
Setelah Hizbut Tahrir melakukan kajian, penelitian dan studi terhadap keadaan ummat serta sejauh mana kemerosotan yang dideritanya. Lalu dibandingkana dengan situasi di masa Rasulullah saw, masa Khulafaur Rasyidin dan masa Tabi’in sesudahnya; lalu dengan merujuk kembali Sirah Rasulullah saw dan tata cara mengemban da’wah beliau sejak permulaan da’wah sampai (berhasilnya) mendirikan suatu Daulah Islam di kota Madinah; kemudian dengan mempelajari bagaimana perjalanan hidup beliau di Madinah; dan setelah merujuk kembali kepada Kitabullah, Sunah Rasul-Nya serta apa yang ditunjukkan oleh dua sumber ini, yakni Ijma Sahabat dan Qiyas; selain berpedoman pada ungkapan-ungkapan/pendapat para Sahabat, Tabi’in, Imam-imam dari kalangan mujtahidin, Setelah melakukan itu semua, Hizb lalu memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang berkaitan dengan fikrah dan thariqah. Semuanya itu berupa ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum-hukum Islam semata, Tidak ada satupun yang bukan dari Islam. Tidak dapat pula dipengaruhi oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam. Sumbernya secara utuh dan murni diambil dari Islam, dan tidak disandarkan pada sesuatu selain dari ushul Islam yang terkenal (baik ushuluddin maupun ushul fiqh) dan nash-nash syari’atnya. Juga Hizbut Tahrir bersandarkan pada pemikiran (akal sehat) dalam penetapannya.
Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum tersebut sesuai dengan ketentuan yang diperlukan dalam perjuangannya untuk melangsungkan kehidupan Islam serta mengemban da’wah Islam ke seluruh penjuru dunia, dengan mendirikan Daulah Khilafah dan mengangkat seorang Khalifah.
Ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum yang telah dipilih dan ditetapkannya telah dihimpun dalam buku-buku (baik yang dijadikan sebagai materi pembinaan ataupun sebagai materi pelengkap) dan selebaran-selebaran. Semuanya itu telah diterbitkan dan disebarkan kepada umat. Berikut ini dicantumkan nama-nama buku yang telah diterbitkan oleh Hizb, yaitu:
(1) Kitab Nizhamul Islam (Peraturan Hidup di Dalam Islam),
(2) Kitab Nizhamul Hukm Fil Islam (Sistem Pemerintahan di Dalam Islam),
(3) Kitab An-Nizhamul Iqtishaadi Fil Islam (Sistem Ekonomi di Dalam Islam),
(4) Kitab An-Nizhamul Ijtimaa’i Fil Islam (Sistem Pergaulan antara Pria dan Wanita di dalam Islam),
(5) Kitab At-Takattul al Hizbiy (Proses Pembentukan Partai Politik),
(6) Kitab Mafahiimu Hizbut Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir),
(7) Kitab Ad Daulatul Islamiyah (Pemerintahan Islam),
(8) Kitab Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah (Membentuk Kepribadian Islam; tiga jilid),
(9) Kitab Mafahiim Siyasiyah Li Hizbut Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Politik Hizbut Tahrir),
(10) Kitab Nadlaraat Siyasiyah Li Hizbut Tahrir (Beberapa Pandangan Politik menurut Hizbut Tahrir),
(11) Kitab Muqaddimatud Dustuur (Pengantar Undang-undang Dasar Negara Islam),
(12) Kitab Al-Khilafah (Beberapa Hukum mengenai AlKhilafah),
(13) Kitab Kaifa Hudimat Al-Khilafah (Usaha-usaha Meruntuhkan Pemerintah Khilafah),
(14) Kitab Nizhamul ‘Uquubaat (Hukum pidana, Sanksi, Ta’zir dan Melanggar Peraturan Negara),
(15) Kitab Ahkaamul Bayyinaat (Hukum-hukum Pembuktian dalam pengadilan), (16) Kitab Naqdlul Isytiraakiyatul Marksiyah (Kritikan terhadap Sosialis Marxis),
(17) Kitab At-Tafkiir (Membangun Daya Berfikir),
(18) Kitab Sur’atul Badiihah (Kecepatan Berfikir),
(19) Kitab Al-Fikrul Islamiy (Pemikiran Islam),
(20) Kitab Naqdlu Nadlariyatul Iltizaami Fil Qawaniinil Gharbiiyah (Kritikan terhadap Teori Stipulasi didalam Undang-undang Barat),
(21) Kitab Nida’ Haar (Panggilan Hangat dari Hizbut Tahrir untuk Ummat Islam),
(22) Kitab As-Siyaasatul Iqtishadiyatul Muthsla (Politik Ekonomi yang Agung),
(23) Kitab Al-Amwaalu Fii Daulatil Khilafah (Sistem Keuangan di dalam Negara Khilafah).
Disamping itu terdapat ribuan lagi selebaran-selebaran, buklet-buklet dan diktat-diktat Hizb (surat-surat terbuka kepada para penguasa dan pemimpin gerakan politik) yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir sejak berdirinya sampai sekarang.
VIII. METODE DAKWAH HIZBUT TAHRIR
Metode yang ditempuh dalam mengemban dakwah adalah hukum-hukum syara’, yang diambil dari thariqah perjalanan dakwah Rasulullah saw, sebab thariqah itu adalah wajib diikuti. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (QS Al Ahzab: 21)
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (QS Ali Imran: 31)
“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Masih banyak lagi ayat lain yang menunjukkan wajibnya mengikuti perjalanan Rasul, menerima tasyri’ dan menjadikan beliau suri tauladan.
(1) Berhubung dengan keadaan kaum muslimin saat ini, yang hidup di “Darul Kufur”, dan diterapkan atas mereka hukum-hukum selain dari apa yang diturunkan Allah SWT, maka keadaan negeri mereka serupa dengan negeri Makkah ketika Rasulullah saw diutus (menyampaikan Risalah Islam). Untuk itu wajib dijadikan fase Makkah sebagai tempat berpijak dan mengembangkan dakwah.
(2) Setelah kita mendalami perjalanan dakwah Rasulullah saw. di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan suatu negara (Islam) di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa tahapan yang jelas ciri-cirinya. Beliau melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan jelas tujuannya. Dalam hal ini Hizbut Tahrir mengambil metode dakwah Rasulullah saw dari segi operasionalnya dan tahapan-tahapannya. Begitu pula dengan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukannya pada seluruh tahapan ini, yakni dengan menjadikan kegiatan-kegiatan Rasululah saw. sebagai teladan pada seluruh tahapan perjalanan dakwah.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Hizb lalu menggariskan thariqah langkah operasionalnya dalam tiga tahap:
A. Tahap-Tahap Operasional Dakwah
(1) Tahap Tatsqif (pembinaan dan pengkaderan) untuk melahirkan orang-orang yang meyakini fikrah (konsep) Hizbut Tahrir dan metode Hizbut Tahrir dalam Pembentukan kerangka gerakan.
(2) Tahap Tafa’ul (berinteraksi) dengan umat agar ia mampu untuk memikul dakwah sehingga ummat akan menjadikannya sebagai masalah utama (vital) dalam kehidupannya, serta berusaha menerapkannya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
(3) Tahap pengambil-alihan kekuasaan, yang selanjutnya menerapkan Islam secara utuh dan menyeluruh, serta menyampaikan dan mengemban Risalah Islam ke seluruh dunia.
A.1. Tahap Pertama
Adapun tahap pertama, telah dirintis oleh Hizbut Tahrir di Quds/Jerusalem pada tahun 1372 Hijriyah (1953 Masehi), dibawah seorang pendiri yang ‘alim dan terhor mat, seorang pemikir besar dan politikus yang ulung, juga seorang Qadli pada Mahkamah Isti’naf (Mahkamah Agung) di Jerusalem, yaitu Al-Ustadz Taqiyuddin An-Nabhani, Rahimahullah.
Pada saat itu Hizbut Tahrir telah melakukan kontak (langsung) dengan anggota masyarakat, menyampaikan konsep dan metode dakwahnya (thariqah) lewat perorangan. Bagi orang yang menerima fikrah dan thariqah Hizb, pembinaannya diatur secara intensif dalam halaqoh-halaqoh Hizb hingga menyatu dengan ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah dijadikan sebagai pedoman dan kemudian menjadikannya seorang muslim yang mempunyai kepribadian Islam, berinteraksi dengan Islam dan menghayatinya serta memiliki aqliyah dan nafsiyah Islamiyah (pola pikir dan pola jiwa yang Islami); yang untuk selanjutnya bergerak mengemban dakwah kepada umat. Apabila seseorang telah sampai pada tingkatan ini, maka secara sukarela ia akan mengharuskan dirinya bergabung dengan Hizbut Tahrir yang selanjutnya dijadikan sebagai anggota. Keadaan ini serupa dengan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. pada tahap awal dakwah-beliau yang berlangsung selama tiga tahun.
Beliau berdakwah melalui individu dan menyampaikan kepada orang-orang (yang ada di Makkah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepadanya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka diikatnya dengan kelompok (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah saw berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepadanya apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia, dan membina/mendidik (mereka) secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu juga, mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Sesudah itu, penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Makkah), dan akhirnya secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam.
Pada tahap ini (tahap awal dakwah) perhatian Hizb dipusatkan kepada pembinaan kerangka gerakan, memperbanyak pendukung dan pengikut, serta mengkader para pengikutnyanya dalam halaqah-halaqah dengan tsaqafah (materi pembinaan) Hizb yang terarah dan intensif, sehingga pada akhirnya telah berhasil membentuk kelompok partai bersama-sama para pemuda yang telah menyatu dengan Islam yang menerima pemikiran-pemikiran Hizb, kemudian berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran tersebut serta mengajak orang lain menuju pemikiran-pemikiran Hizb. Setelah Hizb berhasil membentuk suatu kelompok partai, dan masyarakat mulai merasakannya serta mengenal Hizb beserta ide-ide dan apa yang ia anjurkan kepada masyarakat, maka sampailah Hizb pada tahap yang kedua.
A.2. Tahap Kedua
Tahap yang kedua adalah Marhalatut-Tafa’ul yaitu berinteraksi dengan masyarakat untuk menyampaikan Islam kepada umat dan mendorongnya untuk memikul Islam, membentuk kesadaran dan opini masyarakat atas dasar ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah dipilih dan ditetapkan oleh Hizb, hingga dijadikannya sebagai pemikiran ummat yang akan mendorongnya untuk berusaha mewujudkannya dalam kehidupan. Kemudian umat berjuang bersama-sama Hizb berusaha mendirikan Daulah Khilafah serta mengangkat seorang Khalifah untuk melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pada tahapan ini Hizb mulai beralih menyampaikan dakwah kepada masyarakat banyak dengan cara penyampaian yang bersifat kolektif (umum). Pada saat itu Hizb melakukan kegiatan-kegiatan berikut ini:
(1) Tsaqafah murakkazah (pembinaan yang intensif) melalui halaqoh-halaqoh yang diadakan secara untuk individu (pengikut Hizb) dalam rangka untuk mengembangkan kerangka Hizb, memperbanyak pendukung, serta melahirkan kepribadian Islam di kalangan para pengikut dan anggota Hizb hingga mereka mampu mengemban dakwah Islam, mengarungi medan kehidupan dengan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik.
(2) Tsaqafah jama’iyah (pembinaan kollektif/ umum) yang disampaikan kepada umat Islam secara umum, berlandaskan ide-ide dan hukum-hukum Islam yang telah dijadikan landasan Hizb sebagai materi pembinaan untuk umat. Ini dilakukan melalui pengajian-pengajian umum atau ceramah-ceramah di Masjid-masjid, atau di balai-balai pertemuan, gedung-gedung dan tempat-tempat umum, juga melalui media massa, buku-buku dan selebaran-selebaran untuk melahirkan kesadaran umat secara umum sekaligus berinteraksi dengan masyarakat.
(3) Asy-Syira’ul fikri (pergolakan pemikiran) dalam rangka menentang kepercayaan/ideologi, aturan dan pemikiran-pemikiran kufur. Menentang segala bentuk aqidah yang rusak, pemikiran yang keliru, persepsi yang salah dan tersesat dengan cara mengungkapkan kepalsuannya serta kekeliruannya dan pertentangannya dengan Islam. Sekaligus membersihkan umat dari segala bentuk pengaruh dan bekas-bekasnya.
(4) Al-Kifahus siyasi (perjuangan politik), berbentuk:
(a) Berjuang menghadapi negara-negara kafir Imperialis yang menguasai negeri-negeri Islam. Menghadapi segala bentuk penjajahan, baik itu yang berupa pemikiran, politik, ekonomi, maupun militer dan mengungkapkan taktik dan strategi serta membongkar persekongkolan negara-negara kafir untuk membebaskan umat dari kekuatannya, serta melepaskan umat dari segala bentuk pengaruh kekuasaannya.
(b) Menentang para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya (yang menjadi tempat kegiatan Hizb), dan mengungkapkan kejahatan mereka serta mengadakan nasehat dan kritik. Sekaligus mencoba mengubah tingkah lakunya setiap kali mereka melahap hak-hak umat, atau pada saat mereka tidak melaksanakan kewajibannya terhadap umat, atau pada saat melalaikan salah satu urusan umat, atau setiap kali mereka menyalahi hukum-hukum Islam. Dan berusaha untuk menghapuskan kekuasaannya, kemudian menggantikannya dengan kekuasaan yang berlandaskan pada hukum-hukum Islam.
(5) Mengutamakan/memilih kemaslahatan umat dan melayani seluruh urusannya sesuai dengan hukum-hukum syara’.
Hizb telah melaksanakan semua kegitan-kegiatan itu dengan mengikuti jejak Rasulullah saw, setelah turunnya firman Allah:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu), dan berpa linglah dari orang-orang yang musyrik.”(Al Hijr: 94)
Rasulullah saw diperintahkan menyampaikan Risalahnya secara terang-terangan. Menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan menyampaikan bahwa sesungguhnya beliau adalah seorang Nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.
Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sedangkan ayat AlQur’an masih turun secara berangsur-angsur. Ayat AlQur’an tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, seperti perbuatan-perbuatan memakan riba, membunuh anak-anak wanita, mengurangi timbangan, dan melakukan perzinahan. Seiring dengan itu pula ayat Al-Qur’an turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang yang bodoh, termasuk nenek moyang mereka, dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rencanakan untuk menentang Rasul, dan sahabat-sahabatnya.
B. Sikap dan Cara Hizb Dalam Perjuangan Politik
Dalam menyampaikan ide-idenya dan menghadapi ide-ide yang salah atau yang menyeleweng dari Islam, menentang kelompok-kelompok politik lain (yang tidak berlandaskan Islam), atau dalam menghadapi negara-negara kafir Imperialis, serta menentang para penguasa, sikap Hizb di sini tidak lain adalah menyampaikan pendapatnya secara terbuka (terang-terangan), menyerang dan menantang. Tidak dengan cara nifaq (berpura-pura), menjilat, bermanis muka dengan mereka, simpang siur ataupun berbelok-belok, dan tidak pula dengan cara mengutamakan jalan yang lebih selamat. Hizb juga berjuang secara politik tanpa melihat lagi hasil apakah maju atau mundur dan tidak memperhatikan keadaan apakah itu membahayakan atau menyelamatkan.
Sikap Hizb dalam menentang setiap orang yang menyeleweng dari Islam dan hukum-hukumnya, telah membawa bahaya sehingga para anggotanya menghadapi berbagai gangguan dan menerima siksaan yang pedih dari para penguasa; berupa penjara, kesengsaraan, pengusiran, pengejaran, dimata-matai, diputuskan mata pencahariannya dan diboikot kepentingannya, serta dilarang bepergian anggota-anggotanya ke luar negeri (dicekal), bahkan diantara mereka ada yang dibunuh. Banyak anggota-anggota Hizb yang telah dibunuh oleh para penguasa dzalim di negeri-negeri Iraq, Syria dan Libia, bahkan lebih daripada itu. Banyak juga yang dipenjarakan di negeri-negeri Yordania, Syiria, Iraq, Mesir, Libia dan Tunisia. Penjara-penjara di negeri-negeri tersebut penuh dengan anggota-anggota Hizb. Apa yang dilakukan oleh Hizb dan penderitaan yang ditanggung anggota-anggota Hizb disebabkan hanya karena mereka mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. Rasulullah telah datang dengan membawa Risalah Islam ke seluruh dunia secara terang-terangan dan menantang; Beliau beriman dengan kebenaran dakwah yang diembannya kepada masyarakat. Menantang dunia secara keseluruhan dan mengumumkan perang atas seluruh manusia baik yang berkulit merah maupun hitam, tanpa memperhitungkan sedikitpun adat istiadat, tradisi, kebiasaan-kebiasaan, agama-agama, aqidah-aqidah, para penguasa, maupun orang-orang awam (rakyat kebanyakan). Tak sedikitpun beliau menoleh kepada sesuatu selain Risalah Islam.
Rasulullah saw telah memulai dakwahnya terhadap orang-orang Quraisy dengan mencela dan memaki seluruh tuhan-tuhan mereka, menentang seluruh aqidah mereka, menganggap remeh dan tidak peduli terhadap mereka. Sedangkan saat itu beliau berdakwah sendirian, tanpa persiapan apa-apa dan tanpa pendukung. Tidak memiliki senjata selain imannya yang dalam terhadap Islam yang telah diwahyukan kepadanya. Di dalam menempuh perjalanannya, Hizb bersikap tegas dan tetap menyampaikan dakwah secara terang-terangan, menentang sesuatu yang bertentangan dengan Islam, akan tetapi Hizb telah membatasi kegiatannya hanya bersifat politik tanpa menempuh cara-cara kekerasan (fisik/senjata) dalam menentang para penguasa maupun dalam menentang orang-orang yang menghalangi dakwahnya, demi untuk mengikuti langkah-langkah Dakwah Rasulullah saw.
Di Makkah kegiatan Rasulullah saw terbatas hanya pada dakwah secara lisan dan tidak melakukan kegiatan apapun yang bersifat fisik, sampai beliau Hijrah ke Madinah. Bahkan ketika Pemimpin Madinah menawarkan kepada beliau pada Bai’atul Aqabah II agar mereka diizinkan memerangi penduduk Mina (Jama’ah Hajji dari seluruh Qabilah) dengan pedang, Rasulullah saw menjawab:
“Kami belum diperintahkan (untuk melakukan yang) demikian”. (Sirah Ibnu Hisyam, jilid I, hal. 144)
menerima penganiayaan/siksaan sebagaimana yang telah dialami oleh Rasul-Rasul sebelumnya. Firman Allah SWT:
“(Dan) sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-Rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka tetap sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datangnya pertolongan Kami kepada mereka.” (QS Al An’am: 34)
C. Sikap Hizb Terhadap Penggunaan Kekuatan Fisik
Hizb tidak menggunakan kekuatan fisik untuk membela diri atau menentang para penguasa. Kekuatan fisik tidak dapat disamakan dengan Jihad, baik Jihad untuk mempertahankan daerah Islam maupun menyebarkan Islam. Jihad tetap berlangsung terus hingga hari Kiamat. Apabila musuh-musuh Kafir menyerang salah satu Negeri Islam, maka wajib atas kaum muslimin yang menjadi penduduknya untuk menghadapinya. Begitu pula anggota-anggota Hizbut Tahrir di daerah itu –yang juga merupakan bagian dari kaum muslimin– maka diwajibkan atas mereka sebagaimana yang diwajibkan terhadap kaum muslimin yang lainnya, yaitu memerangi dan menghadapi musuh, karena predikatnya sebagai muslim. Apabila terdapat seorang “Amir” (Pemimpin Muslim) yang berjihad untuk menegakkan kalimat Allah dan dia mengajak orang-orang lain, maka anggota-anggota Hizb menyambutnya (walau Penguasa tersebut tidak menerapkan Hukum-hukum Islam), karena mereka adalah kaum muslimin di suatau tempat yang telah diperintahkan kepadanya untuk menyerang.
D. Thalabun Nushrah (Mencari Perlindungan)
Tatkala masyarakat (terutama di daerah-daerah pergerakan) telah apatis terhadap Hizb, akibat hilangnya kepercayaan umat terhadap pemimpin-pemimpinnya dan tokoh-tokoh masyarakat yang pernah menjadi tumpuan harapan, dan juga akibat keadaan yang teramat sulit yang sengaja dibuat oleh kaum Imperalis di Daerah Timur Tengah agar taktik Imperialisme mereka tetap berlangsung. Juga akibat dominasi kekuasaan dan sikap keras/kejam yang dilakukan oleh para penguasa untuk menindas rakyatnya, penganiayaan yang teramat keras yang dilakukan oleh para penguasa terhadap Hizb, anggota serta pengikutnya. Pada saat masyarakat menjadi apatis akibat semua keadaan ini, maka Hizb mulai melakukan ‘thalabun-nushrah’ (permintaan perlindungan) dari orang-orang yang mampu (memiliki kekuasaan), untuk dua tujuan:
(1) Tujuan Himayah (membela Hizb bersama anggota-anggotanya), hingga mampu berjalan mengemban dakwah dalam keadaan yang aman.
(2) Mencari jalan untuk sampai pada tingkat pemerintahan (yaitu sampai ke tahap diserahkannya kekuasaan kepada Hizb) untuk mendirikan Khilafah Islamiyah dan menerapkan Islam.
Pada saat Hizb melakukan kegiatan ‘thalabun-nushrah’, seluruh kegiatan lainnya tetap dijalankan, seperti pembinaan intensif dalam halaqoh-halaqoh, pembinaan kolektif untuk seluruh umat; mengkonsentrasikan kegiatan hanya pada umat untuk ikut bertanggungjawab dalam memikul beban Islam; serta mewujudkan opini umum di kalangan umat. Begitu pula kegiatan lain seperti menentang negara-negara kafir Imperialis dan mengungkapkan taktik mereka, serta membongkar persekongkolannya; juga menentang para penguasa, mengutamakan kepentingan umat dan memelihara urusannya. Kesemuanya ini terus dilakukan oleh Hizb dengan terus berharap kepada Allah, semoga Hizb dan umat Islam mendapatkan keberhasilan dan kemenangan serta pertolongan Allah. Pada saat itulah orang-orang mukmin bergembira dengan datangnya nashrullah/pertolongan Allah.
IX. Konsep Hizbut Tahrir
Konsep yang dijadikan landasan bagi Hizbut Tahrir, yang telah merasuk dalam diri pengikutnya dan selalu diusahakan agar menjadi bagian dari umat serta yang dijadikan sebagai masalah yang terutama (vital) adalah “Fikrah Islam” atau “Aqidah Islam”. Dari aqidah itu terpancar pemikiran dasar dan bangunan hukum. Dan Hizbut Tahrir telah mengambil dari Fikrah Islam ini apa-apa yang dibutuhkan oleh partai-partai politik yang bertujuan ingin mewujudkan Islam di tengah kehidupan masyarakat, yaitu dengan merasukkan Islam ke dalam sistem pemerintahan, serta hubungan (interaksi) antara masyarakat, dan dalam semua aspek kehidupan.
Hizb telah menjelaskan segala sesuatu dari apa yang telah ditetapkan secara terperinci dalam buku-buku dan selebaran-selebaran yang diterbitkan, disertai dengan keterangan dan dalil-dalil yang terperinci bagi setiap hukum, pendapat, pemikiran atau persepsi. Di bawah ini adalah beberapa contoh secara garis besar tentang hukum, pemikiran, persepsi dan pendapat Hizbut Tahrir yang paling menonjol.
AQIDAH ISLAM
A. Definisi Aqidah
Definisi Aqidah
Aqidah Islam adalah iman kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasulNya, hari Kiamat dan iman terhadap Qadla-Qadar baik atau buruknya adalah datang dari Allah SWT.
Iman adalah “tashdiq” (membenarkan sesuatu dengan pasti) yang sesuai dengan kenyataan, serta berdasarkan bukti dan dalil (baik aqli maupun naqli). Apabila pembenaran ini tidak berlandaskan dalil, maka ia tidak dapat disebut sebagai iman. Sebab, di dalamnya tidak terdapat unsur kepastian. Begitu pula pembenaran tidak akan mencapai tingkat pasti kecuali jika ia ditetapkan dengan dalail yang qath’i (pasti). Oleh karena itu dalil-dalil aqidah harus bersifat Qath’i dan tidak boleh bersifat Dzanni atau prasangka (dugaan).
Aqidah Islam berupa kalimah syahadat (Laa ilaha illalloh, wa annaa Muhammadarrasulullah), atau kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, belum dapat dibenarkan kecuali bila didasarkan pada ilmu, keyakinan dan kebenaran. Dan ia bukan berdasarkan prasangka. Sebab, persangkaan tidak menghasilkan ilmu dan keyakinan.
B. Hakekat dan Kenyataan Aqidah
Aqidah Islam adalah asas bagi Islam sebagai pandangan hidup, asas bagi negara, Konstitusi dan perundang-undangan, serta asas segala sesuatu yang terpancar dan dibangun dari atau di atasnya, yang berupa pemikiran, hukum dan persepsi Islam. Oleh karena itu, Aqidah Islam merupakan kepemimpinan idiologis (qiyadah fikriyah), landasan berpikir (qaidah fikriyah) dan sebagai Aqidah Politik (Aqidah Siasiyah). Sebab, ide-ide, persepsi-persepsi, pandangan dan hukum-hukum yang terpancar dan tumbuh di atasnya terkait dengan urusan dunia dan cara pengaturannya, juga terkait dengan urusan akhirat.
Aqidah adalah asas yang mengatur urusan dunia. Sebab, di dalamnya terdapat hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan, misalnya jual beli, sewa menyewa, perwakilan, jaminan (garansi), pemilikan, pernikahan, syirkah (perusahaan), warisan dan lain-lain. Begitu pula pengaturan hukum yang berkaitan dengan cara pelaksanaan urusan dunia tersebut, seperti hukum wajib adanya “Amir Jama’ah” (pemimpin kelompok atau pemimpin rakyat), termasuk hukum dan tatacara pengangkatan amir, mengadakan koreksi dan taat kepadanya; atau seperti hukum-hukum jihad, perdamaian, gencatan senjata dan perjanjian antar negara; atau, seperti hukum tentang “uqubat” (sanksi) dan lain-lain. Dengan demikian, Aqidah Islam adalah aqidah yang mengatur segala urusan. Oleh karena itu, Aqidah Islam merupakan “Aqidah Politik” (Aqidah Siasiyah). Sebab, arti dari politik adalah pengaturan dan pemeliharaan seluruh urusan umat.
Begitu pula aqidah Islam merupakan aqidah yang tidak dapat dipisahkan dari masalah perjuangan dan peperangan baik dalam mengemban da’wahnya, memper`” ahankannya dan menegakkan negara –atas dasar aqidah tersebut– yang akan melindungi aqidah dan tetap berdiri di atas Aqidah Islam serta berusaha melaksanakan hukum-hukumnya. Juga, dalam mengadakan koreksi terhadap penguasa apabila mereka mengabaikan pelaksanaan hukum-hukumnya dan mengabaikan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
C. Kaitan Aqidah dengan Ubudiyah
Aqidah Islam menuntut Pengesaan hanya terhadap Allah, melalui ibadah dan ketundukan serta pengakuan bahwa hanya Allahlah pembuat peraturan (tasyri’), juga berusaha menolak segala bentuk ubudiyah kepada selain Allah, yaitu semua makhluk-makhlukNya baik berupa patung, thaghut (peraturan dan undang-undang yang tidak berasal dari Allah), atau mengikuti hawa nafsu dan syahwat semata.
Ubudiyah (penyembahan) hanya boleh dilakukan terhadap Allah semata sebagai Pencipta dan satu-satunya yang berhak diibadahi. Ia adalah Yang Maha Pengatur atau Pembuat hukum. Ia juga sebagai Penunjuk (Al Hadi), Pemberi Rizki (Ar Razzak), Yang Menghidupkan dan Mematikan (Al Muhyi wa Al Muhmit), serta Maha Penolong (An Nashier). Seluruh kekuasaan berada di tanganNya. Ia berkuasa atas segala sesuatu, tanpa sekutu dengan atau yang menyamaiNya.
D. Kaitan Aqidah dengan Kerasulan
Aqidah Islam juga menuntut hanya Rasul Muhammad saw sebagai satu-satunya anutan di antara semua makhluk. Seorang muslim tidak akan mengikuti selain Rasul Muhammad, dan tidak menerima selain dari beliau. Beliaulah yang telah menyampaikan syari’at Rabbnya. Tidak diperkenankan mengambil syari’at selain dari Rasul (siapapun orangnya), termasuk pembuat hukum dan perundang-undangan, atau dari agama dan ideologi selain Islam. Tetapi ia wajib mengikuti dan mengambil hukum semata-mata hanya dari Rasul, Rasul berdasarkan firman Allah SWT:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al Hasyr: 7)
“(Dan) Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan akan ada pilihan (lain) tentang urusan mereka.” (QS Al Ahzab: 36)
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS An Nisa: 65)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An Nur: 63)
E. Aqidah dan Pelaksanaan Hukum
Aqidah Islam juga menuntut kewajiban menerapkan Islam secara sempurna atau meyeluruh dan sekaligus (tidak secara bertahap), dan haram melaksanakan hanya sebagian dari Islam dan meninggalkan sebagian lainnya, atau melaksanakannya secara bertahap. Kaum Muslimin diperintahkan untuk menerapkan semua yang telah diturunkan Allah kepada RasulNya, begitu turun firmanNya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmatKu kepadamu dan telah Kuridhai Islam menjadi dinmu.” (QS Al Maidah: 3)
Kita tidak boleh membeda-bedakan hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Seluruh hukum Allah adalah sama dalam hal kewajiban pelaksanaannya. Oleh karena itu Abubakar ra, beserta Para Sahabat telah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, karena mereka menolak melaksanakan salah satu hukum, yaitu hukum zakat. Juga, Allah SWT mengancam orang-orang yang membeda-bedakan antara satu hukum dengan hukum yang lain. Begitu pula terhadap orang-orang yang iman terhadap sebagian dari Kitabullah dan kufur terhadap sebagian yang lainnya. Mereka akan diancam dengan kehinaan di dunia dan siksa yang pedih di akhirat, sesuai dengan firmanNya:
“Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Kitab (Allah) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan dari orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang amat berat.” (QS Al Baqarah: 85)
Mengenai aqidah Islam ini (baik yang menyangkut ide dasar maupun cabang) Hizbut Tahrir telah membahas berbagai permasalahan aqidah, antara lain pembuktian adanya Allah Sang Pencipta, pembuktian kebutuhan akan adanya Rasul, dan pembuktian bahwa Al-Qur’an berasal dari Allah SWT dan Muhammad saw adalah seorang Rasul. Semua hal tersebut dibahas berdasarkan dalil ‘aqli dan naqli dari Al-Qur’an dan Hadits yang Mutawatir (yang pasti dari Rasul). Juga, Hizbut Tahrir telah membahas masalah-masalah Qadla dan Qadar, Rizki, Ajal, Tawakkal kepada Allah, serta masalah Hidayah (petunjuk) dan Dlalalah (kesesatan).
KAEDAH-KAEDAH SYARA’
A. Kaedah Pertama
Asal dari perbuatan (selalu) terikat dengan hukum syara, sehingga tidak boleh mengerjakan sesuatu kecuali setelah mengetahui hukumnya terlebih dahulu. Sedangkan asal hukum sesuatu (barang/alat atau materi) adalah ibahah (boleh) sebelum ada dalil yang mengharamkannya.
Jadi, seorang muslim secara syar’i diperintahkan untuk menyesuaikan seluruh perbuatannya dengan hukum syara berdasarkan firmanNya:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS An Nisa: 65)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tingalkanlah.” (QS Al Hasyr: 7)
Itulah dasar mengapa seorang muslim harus terikat hukum syara’ dalam setiap amal perbuatannya. Definisi hukum adalah seruan (khithob) Syari’ (Allah SWT sebagai pembuat hukum), yang terkait dengan perbuatan seorang hamba (manusia). Berdasarkan definisi tersebut maka segala sesuatu yang belum tercantum dalam seruan Allah SWT, tidak dapat dianggap sebagai hukum syara’. Sementara itu setiap perbuatan atau segala sesuatu di dunia ini sebenarnya telah dijelaskan hukumnya oleh Allah SWT. Ini bisa dimengerti dari firman Allah SWT:
“Pada hari ini (10 Dzulhijah/ 10 H) telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan nikmatKu kepadamu dan telah Kuridhai Islam menjadi dienmu.” (QS Al Maidah: 3)
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) yang berupa penjelasan terhadap segala sesuatu.” (An Nahl: 89)
Khithab Syari’ secara umum menentukan/menjelaskan tentang bolehnya segala sesuatu. Dan ibahah adalah salah satu Hukum Syara’, karena menurut batasannya ibahah adalah perbuatan yang di dalamnya terdapat alternatif (pilihan dari Allah): untuk meninggalkan sesuatu atau untuk melaksanakannya. Kaedah dan batasan ini diambil dari firman Allah SWT:
“Dialah Allah, yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS Al Baqarah: 29)
“(Dan) Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya. (QS Al Jatsiah: 13)
Berdasarkan dua ayat di atas, maka kita mendapatkan pengertian bahwa segala sesuatu yang ada di langit maupun di bumi yang diciptakan Allah untuk manusia adalah bersifat mubah, tidak perlu dalil khusus untuk penguasaannya, karena ia termasuk dalam dalil umum yaitu ibahah. Allah SWT telah berfirman:
“Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS Al Baqarah: 168)
Ayat tersebut menerangkan bahwa asalnya, memakan segala sesuatu yang ada adalah halal (boleh). Untuk memakannya tidak diperlukan dalil khusus karena telah ada dalil umum (yaitu ibahah). Tetapi telah ada larangan (hukum haram) memakan bangkai, daging babi, binatang yang jatuh, binatang buas. Juga, telah ada larangan (hukum haram) meminum sesuatu semacam khamr. Semua (yang dilarang memakannya) itu memerlukan dalil yang mengharamkannya. Keharaman suatu makanan atau minuman adalah bersifat spesifik (ada kekecualiannya) dari dalil umum yang membolehkan memakan atau meminum sesuatu.
B. Kaedah Kedua
Tidak sempurna sesuatu kewajiban tanpa suatu perbuatan. Maka, perbuatan tersebut menjadi sesuatu yang wajib pula (untuk dikerjakan).
C. Kaedah Ketiga
Segala sesuatu perbuatan ikut (turut, terkait dengan) hukum asalnya.
D. Kaedah Keempat
Nilai kebaikan adalah sesuatu yang diridhai Allah dan nilai keburukan itu adalah segala sesuatu yang dimurkaiNya.
E. Kaedah Kelima
Sesungguhnya standart suatu perbuatan terpuji adalah syara’, dan standart suatu perbuatan tercela adalah juga berdasarkan ketentuan syara’.
F. Kaedah Keenam
Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadat, makanan dan minuman, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak dapat direka-reka, semua ketentuannya wajib sesuai dengan nash/ketentuan syara’semata.
Definisi-definisi Syara’
(1) Hukum Syara’ adalah Khithob/seruan Syari’ (berasal dari Allah sebagai pembuat hukum) yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia).
(2) Wajib adalah sesuatu yang diminta atau diserukan dengan seruan yang pasti, atau sesuatu yang diberikan pahala bagi yang melakukannya dan disiksa bagi yang meninggalkannya.
(3) Haram adalah sesuatu yang dilarang dengan ketentuan yang pasti, atau sesuatu yang dijatuhkan siksaan bagi yang melakukannya.
Definisi-definisi yang bukan Berdasarkan Syara’
Termasuk dalam kategori ini adalah batasan mengenai
(1) proses berpikir,
(2) Pola pikir yang berlandaskan rasio,
(3) Pola pikir yang berlandaskan sains; dan definisi
(4) masyarakat.
Semua definisi tersebut adalah batasan untuk sesuatu yang nyata (ada dalam fakta kehidupan).
(1) Tentang Proses Berpikir
Fikr, Akal, dan Idrak (faham) mengandung makna yang satu, yaitu proses berpikir yang diperoleh dengan penangkapan sesuatu benda (obyek), melalui panca indera manusia yang dialihkan ke otak, kemudian dipikirkan dan dipertimbangan oleh otak, lalu ditentukan sikap terhadap obyek tersebut berdasarkan pengetahuan/informasi yang diperoleh sebelumnya. Lewat perantaraan keempat komponen tersebut (obyek/benda; indera manusia; otak yang sehat; dan pengetahuan/informasi sebelumnya), maka seseorang dapat memutuskan suatu sikap terhadap hal yang difikirkannya.
Jadi, ada empat komponen dalam proses berfikir yang dibutuhkan manusia agar ia mampu berpikir, yaitu:
(1) obyek
(2) otak
(3) indera
(4) pengetahuan sebelumnya mengenai obyek tersebut.
Keempat komponen tersebut harus bersatu agar tercapai proses berfikir dan melahirkan fikr, akal dan idrak.
(2) Pola Pikir Rasional
Pola pikir rasional (thariqah aqliyah) adalah cara yang digunakan untuk memahami sesuatu. Ia merupakan proses penggunaan akal agar sampai pada tingkat/tahap pemikiran. Dengan kata lain ia adalah cara yang digunakan agar akal dapat menghasilkan ide-ide. Maka inilah metode yang digunakan dalam proses berpikir.
Adapun pola pikir rasional adalah suatu metode pengkajian yang dapat ditempuh agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakekat sesuatu yang sedang dikaji melalui indera yang menyerap obyek. Proses penyerapan tersebut dilakukan melalui panca indera menuju otak, dibantu oleh pengetahuan/informasi sebelumnya. Proses pengetahuan seperti itu akan menghasilkan sebuah penafsiran tentang obyek yang sedang dikaji. Otak kemudian menetapkan suatu sikap (keputusan). Keputusan tersebut dinamakan ide (thought), atau dinamakan juga “Idrak/Aqli” yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara langsung.
Thariqah aqliyah seperti ini mencakup pengkajian materi/obyek yang dapat diindera (seperti Ilmu Fisika), maupun yang bukan materi/abstraks (berkaitan dengan pemikiran) seperti pengkajian aqidah, pembahasan tentang syari’at, atau yang menyangkut pengertian ucapan (seruan Hukum dan Bahasa) seperti pembahasan fiqih dan sastra Arab. Thariqah ini adalah cara yang lazim dan seharusnya dilakukan seseorang agar ia sampai kepada Tingkatan Idrak (memahami sesuatu dengan rasio). Proses ini membentuk ‘Aqlul Asyyaa’ (pemahaman yang obyektif, yaitu seseorang menguasai suatu permasalahan secara otomatis tanpa memerlukan proses analisa laboratorium). Atas dasar inilah manusia mampu menjangkau/memahami apa saja yang ia inginkan.
(3) Thariqah Ilmiyah (Pola Pikir Sains)
Pola pikir sains (thariqah ilmiyah) adalah suatu metode pengkajian yang dapat ditempuh agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakekat sesuatu yang sedang diteliti melalui berbagai macam percobaan ilmiyah. Tetapi proses pencapaiannya hanya berlaku untuk benda-benda yang bersifat materi, tidak terhadap benda-benda yang bersifat abstrak (immateri), sehingga tidak mencakup ide-ide yang diperoleh manusia tanpa melalui analisa labotarorium.
Thariqah ilmiyah ini khusus dilakukan untuk ilmu-ilmu terapan, dengan memperlakukan benda pada situasi/kondisi tertentu, bukan pada situasi/kondisi alami. Hasil yang diperoleh lalu di bandingkan dengan hasil penelitian pada situasi/kondisi alami yang telah ada (kontrol). Dari percobaan dan hasil yang diperoleh serta perbandingan yang dilakukan, maka diambil suatu kesimpulan tentang hakekat benda yang diteliti (dan dapat dicerap oleh indera). Bentuk percobaan ini telah lazim dilakukan di laboratorium.
Kesimpulan yang diperoleh seorang peneliti berdasarkan thariqah ilmiyah tadi akan menghasilkan suatu hasil yang tidak pasti melainkan hanya dugaan semata. Sebab, hasilnya masih memungkinkan adanya kesalahan. Kemungkinan ini dalam thariqah ilmiyah merupakan sebuah paradigma (landasan dasar berpikir). Paradigma yang dihasilkan seperti ini sering dan umum dilakukan dalam penelitian “ilmiyah”.
Di samping itu, metode ilmiyah merupakan salah satu cabang dari thariqah aqliyah. Tetapi, thariqah ilmiyah bukan merupakan tolok ukur (standart kebenaran) berpikir. Apabila thariqah ilmiyah dijadikan sebagai tolok ukur, maka seorang peneliti cenderung menolak banyak prinsip dasar (berupa pengetahuan dan kenyataan) yang bertentangan dengan paradigma yang mereka kembangkan, malah akan menyebabkan gugurnya banyak pengetahuan yang diajarkan (di dalam lembaga pendidikan) sedangkan fakta/kenyataan itu tidak dapat diingkari oleh akal dan perasaan.
(4) Masyarakat
Masyarakat adalah sekumpulan individu (manusia) yang terikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan yang satu (sama). Artinya, di samping adanya sebuah kumpulan manusia (penduduk) juga ada interaksi antar mereka (yang berdasarkan adanya kepentingan bersama). Masyarakat bukan sekedar sekelompok manusia. Sebab, sekelompok manusia hanya akan menghasilkan jamaah (perhimpunan), bukan masyarakat. Sedangkan yang membentuk masyarakat adalah interaksi antar anggota masyarakat yang ada di dalamnya.
Secara terperinci hakekat masyarakat adalah sekumpulan individu yang memiliki pemikiran, perasaan dan aturan yang satu. Maka, untuk memperbaiki masyarakat diperlukan adanya perbaikan pemikiran, perasaan dan aturan yang selama ini berlaku di dalamnya.
Dari bentuk interaksi dan jalan pemecahan terhadap permasalahan hidup yang muncul akibat dari interaksi yang terjadi, maka akan timbul masyarakat yang berbeda-beda. Dari keadaan seperti ini akan muncul berbagai macam masyarakat seperti Masyarakat Islam, Masyarakat Komunis atau Masyarakat Kapitalis.
Ideologi-Ideologi di Dunia
Di dunia sekarang ada tiga macam Mabda (ideologi), yaitu Islam, Demokrasi Kapitalis dan Komunis.
I. Demokrasi Kapitalis
Demokrasi Kapitalis merupakan ideologi yang dianut oleh Negara-nagara Barat dan Amerika. Landasannya adalah pemisahan agama dari negara dan urusan kehidupan. Di kalangan mereka terkenal semboyan “Milik kaisar untuk kaisar dan milik Tuhan untuk Tuhan”. Atas dasar ini, Mabda Kapitalis berpendapat bahwa manusialah yang berhak mengatur kehidupannya sendiri.
Ideologi ini merupakan ideologi kufur yang bertetangan dengan Islam, karena Islam mengakui bahwa Allah adalah Musyarri‘ (Pembuat Hukum). Dialah yang berhak menetapkan aturan bagi manusia. Juga karena Islam menjadikan negara sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hukum-hukum Islam. Islam mewajibkan agar seluruh urusan kehidupan dipecahkan dengan hukum syara’ yang telah diturunkan Allah. Dengan demikian diharamkan, bagi Kaum Muslimin, menganut dan mengikuti ideologi Kapitalis. Diharamkan pula mengambil pemikiran-pemikiran berikut aturannya. Sebab, ideologi tersebut adalah kufur. Begitu juga dengan ide-ide dan aturan Kapitalis secara keseluruhan adalah kufur, sekaligus bertentangan dengan Islam.
A. Pandangan Islam Tentang Kebebasan
Pemikiran yang paling menonjol dan nampak dalam ideologi Kapitalis adalah kewajibannya memelihara kebebasan individu. Kebebasan ini meliputi beberapa bentuk, seperti kebebasan dalam beraqidah, berpendapat, pemilikan dan kebebasan bertingkah-laku. Dari faham kebebasan pemilikan muncullah sistem ekonomi kapitalis yang berlandaskan asas manfaat dan keuntungan. Landasan pemikiran ini mengakibatkan penimbunan-penimbunan yang menggunung, yang mendorong negara-negara Barat untuk menjajah bangsa lain agar dapat merampas kekayaannya. Keempat macam kebebasan tersebut bertentangan dengan Hukum Islam. Untuk lebih jelasnya dapat dijabarkan sebagai berikut:
A.1. Kebebasan Beraqidah
Seorang muslim tidak dibenarkan bebas memilih aqidahnya. Jika dia murtad, maka diperintahkan untuk bertaubat. Apabila tidak mau, maka dia harus dibunuh. Sabda Rasulullah saw:
“Siapa saja yang mengganti agamanya, maka bunuhlah” (HR Imam Ahmad, Bukhari dan Ashhabus Sunan)
A.2. Kebebasan Berpendapat
Seorang muslim tidak dibenarkan bebas berpendapat. Apa yang menjadi pandangan Islam, wajib menjadi pandangannya. Tidak diperkenankan seorang muslim memiliki pendapat yang bukan Islam. (tidak bersumber dari Islam).
A.3. Kebebasan Pemilikan
Begitu pula, seorang muslim tidak bebas memiliki sesuatu sekehendaknya. Tidak diakui/tidak sah baginya memiliki sesuatu kecuali dalam batas-batas pemilikan yang telah ditentukan oleh syara’. Dia tidak bebas memiliki apa saja yang dia inginkan, dengan menghalalkan segala cara, melainkan ia terikat dengan batas-batas pemilikan. Sehingga tidak sah baginya memiliki sesuatu dengan cara riba, menimbun, menjual khamr, babi dan sebagainya. Sebab, cara-cara tersebut seluruhnya dilarang oleh syara’. Atas dasar ini maka tidak diperkenankan seorang muslim untuk memiliki sesuatu dengan salah satu jalan tadi.
A.4. Kebebasan Bertingkah laku
Kebebasan bertingkah laku tidak ada rumusannya dalam Islam. Seorang muslim tidak bebas bertingkah laku. Ia hanya terikat dengan syara’. Bila seorang muslim tidak mendirikan shalat atau shaum, maka dia akan terkena sanksi. Begitu juga bila dia kedapatan mabuk, berzina, atau seorang muslimah keluar dengan “tubuh telanjang” [tanpa berbusana muslimah (membuka auratnya)] atau dengan “tabarruj” (bersolek), maka tindakan tersebut terkena sanksi.
Oleh karena itu, kebebasan yang terdapat dalam Sistem Kapitalis Barat tidak ditemukan keberadaannya dalam Islam, malah bertentangan dengan hukum Islam secara keseluruhan.
B. Pandangan Islam Mengenai Demokrasi
Di antara pemikiran lain yang paling menonjol dalam ideologi Kapitalis adalah Demokrasi, yang semboyannya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dasar sistem Demokrasi adalah rakyat sebagai pemilik kehendak, kedaulatan dan pemilik pelaksanaannya. Karena rakyat yang memiliki segala sesuatunya, maka rakyatlah yang mengatur dirinya sendiri. Tidak seorangpun yang berhak dan dapat mengalahkan kekuasaan rakyat. Dengan demikian rakyatlah yang bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat dan penentu hukum). Rakyat yang membuat aturan sesuai dengan kehendaknya dan rakyat pula yang membatalkan atau menghapus aturan-aturan yang dikehendakinya. Tetapi rakyat tidak dapat melaksanakan semuanya itu secara tunggal. Oleh karena itu, rakyat memilih wakil-wakil (mereka) agar semua kehendak rakyat dapat terlaksana. Maka, dibuatlah aturan main bagi wakil-wakil mereka tersebut.
Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik kekuasaan sekaligus sebagai pelaksananya. Tetapi tidak mungkin seluruh rakyat berperan secara bersama-sama. Karenanya, rakyat perlu memilih para Penguasa (misalnya, presiden, Perdana Menteri) sebagai wakil mereka untuk melaksanakan perundang-undangan yang telah ditetapkan rakyat. Dengan demikian di dalam Sistem Kapitalis Barat, rakyat merupakan sumber kedaulatan, dan mereka bertindak sebagai tuan (pemilik kehendak), pembuat Undang-undang, serta yang memerintah. Sistem Demokrasi seperti ini adalah sistem kufur. Ia adalah hasil ciptaan manusia dan bukan merupakan hukum-hukum syar’i, serta tidak boleh diterima. Melaksanakan sistem Demokrasi berarti melaksanakan sistem Kufur. Menyeru kepada sistem ini berarti tindakan mempropagandakan sistem kufur tersebut. Karena itu tidak dibolehkan mengembangkan, atau mengambilnya dengan alasan apapun dan dalam kondisi bagaimanapun.
Juga, sistem demokrasi ini bertentangan dengan hukum Islam. kaum Muslimin diperintahkan supaya menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan hukum syara’. Seorang Muslim adalah hamba Allah. Ia harus menyesuaikan kehendaknya sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Demikian pula umat tidak berhak memiliki dan menuruti kehendaknya sesuai dengan hawa nafsu. Sebab, kedaulatan bukan berada di tangan umat dan yang menjalankan kehendak umat adalah syara’ semata, karena kedaulatan ada di tangan syara’. Oleh karena itu, umat tidak memiliki hak tasyri’ (membuat hukum dan undang-undang). Hanya Allahlah satu-satunya Musyarri’ (pembuat hukum dan perundang-undangan).
Seandainya umat bersepakat menghalalkan apa yang diharamkan Allah, seperti riba, penimbunan, penipuan, zina atau minuman keras, maka kesepakatan mereka tidak akan bernilai sedikitpun. Sebab, ia bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Jika mereka bersikeras meneruskannya, maka mereka wajib diperangi.
Hanyasanya Allah menjadikan kekuasaan (sulthan) dalam cakupan pemerintahan dan pelaksanaannya hanya untuk umat. Allah memberikan kepada umat hak memilih dan mengangkat penguasanya untuk mewakili umat dalam melaksanakan dan mengendalikan pemerintahan. Juga, Allah telah mengatur (mensyari’atkan) cara pengangkatan dan penetapan penguasa dengan cara bai’at (memilih dengan sukarela tanpa paksaan). Dengan demikian dapat dipahami perbedaan antara kedaulatan (siyadah) dengan kekuasaan (sulthan). Kedaulatan adalah untuk syara, sedangkan kekuasaan adalah untuk umat.
II. Komunisme
Komunis adalah ideologi materialis yang berdiri atas dasar pengingkaran terhadap adanya sesuatu selain materi. Komunis menganggap bahwa materi adalah azali, yakni tak berawal dan tak berakhir. Materi tidak diciptakan oleh Pencipta. Berdasarkan anggapan ini, Komunis tidak mengakui adanya Pencipta, dan mengingkari hari Kiamat. Mereka menganggap agama adalah candu bagi masyarakat.
Komunis adalah Mabda Materialis yang berdasarkan kepada teori dialektika materialis dan teori historis materialis. Materi adalah sumber segala sesuatu. Segala sesuatu berasal dari materi, lahir dan berkembang dengan cara evolusi.
Aturan Komunis muncul dari perkembangan alat-alat produksi. Perubahan alat-alat produksi menimbulkan perubahan terhadap aturan yang ada. Menurut Komunis, masyarakat adalah sekumpulan benda yang terdiri dari tanah, alat-alat produksi, alam dan manusia. Semuanya merupakan satu kesatuan yang dinamakan materi. Apabila terdapat perkembangan evolusi terhadap alam dan apa yang ada di dalamnya, maka manusiapun dengan sendirinya turut berkembang dan berevolusi, yang akhirnya masyarakat pun ikut berkembang secara keseluruhan.
Oleh karena itu menurut konsep Komunis, masyarakat tunduk pada perkembangan materi. Kalau masyarakat berkembang, maka individu turut berkembang bersamanya. Individu mengikuti perkembangan masyarakat seperti layaknya perputaran gigi roda.
Komunis melarang pemilikan individu terhadap alat-alat produksi. Semuanya adalah milik dan atas penguasaan negara. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka ideologi Komunis adalah ideologi kufur. Begitu pula dengan ide serta aturan-aturannya adalah kufur dan bertentangan dengan Islam secara keseluruhan dan mendasar, baik secara global maupun terinci.
Islam telah menjelaskan dan membuktikan bahwa materi itu diciptakan Allah. Materi tidak kekal dan pasti akan binasa (rusak). Sedangkan manusia adalah sebagai makhluk bagi Sang Pencipta (Al Khaliq). Aturan berasal dari Allah, bukan dari atau akibat perkembangan materi dan alat-alat produksi, begitu juga bukan berasal dari manusia. Sedangkan, masyarakat merupakan kumpulan manusia yang memiliki pemikiran dan perasaan serta diterapkan aturan di dalamnya. Yang menentukan bentuk masyarakat tersebut adalah aturan yang diterapkan oleh masyarakat di tengah masyarakat tersebut. Masyarakat yang menerapkan sistem Islam dinamakan masyarakat Islam tanpa memperhatikan bentuk perkembangan alat-alat produksi di dalam masyarakat tersebut. Masyarakat yang menerapkan sistem Kapitalis dinamakan masyarakat Kapitalis. Begitu juga, masyarakat yang menerapkan aturan Komunis dinamakan masyarakat Komunis, sekalipun alat-alat produksi yang ada persis sama seperti alat-alat produksi yang terdapat dalam (masyarakat) sistem Kapitalis.
Hadlarah dan Madaniyah
Hadlarah (peradaban, civilitation) merupakan sekumpulan persepsi/pemikiran tentang kehidupan. Sedangkan Madaniyah adalah hasil karya yang berbentuk materi (alat) yang digunakan dalam aktifitas kehidupan.
Hadlarah selalu bersifat khusus (bagi suatu umat tertentu) sesuai dengan pandangan hidup yang dianutnya. Berdasarkan hal ini maka Hadlarah Islam berbeda dengan Hadlarah Barat, berbeda pula dengan Hadlarah Komunis. Masing-masing Hadlarah memiliki pandangan khusus (spesifik) yang saling berlainan antara satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu kaum muslimin tidak diperkenankan mengambil sebagian (apalagi seluruhnya) Hadlarah Barat, atau sesuatu dari Hadlarah Komunis. Sebab, kedua Hadlarah ini bertentangan dengan Islam.
Sedangkan, madaniyah (perkembangan teknologi/ progress) ada yang merupakan hasil dari Hadlarah, seperti misalnya bentuk gambar dan patung sesuatu yang memiliki ruh. Hal-hal seperti ini bersifat khusus dan tidak bisa diambil, karena Hadlarah Islam mengharamkan pembuatan patung-patung sekaligus menyimpannya. Islam mengharamkan pula melukis setiap gambar yang memiliki ruh, sedangkan Hadlarah Barat dan Komunis membolehkannya.
Ada pula Madaniah yang merupakan hasil dari ilmu dan perkembangan teknologi, serta kemajuan dibidang industri, seperti alat-alat transportasi (pesawat terbang, kapal laut, mobil), atau seperti alat-alat produksi (di bidang pertanian, industri) dan peralatan perang yang canggih. Termasuk pula sesuatu yang dihasilkan oleh akal manusia, seperti penemuan-penemuan baru sebagai produk kemajuan di bidang sains dan industri, misalnya komputer dan lain-lain. Seluruh hasil teknologi tersebut bersifat universal (umum). Ia menjadi milik seluruh dunia, tidak bersifat khusus (milik satu bangsa atau umat tertentu, atau dihasilkan oleh agama dan peradaban tertentu). Ia menjadi milik seluruh umat manusia, karena tidak ada kaitannya dengan Hadlarah dan tidak menyangkut pandangan hidup. Maka dibolehkan mengambilnya, sebab tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam, bahkan mengambilnya merupakan fardlu kifayah (wajib atas seluruh kaum muslimin).
Berbagai Hukum Tentang Sistem Pemerintahan Islam
(1) Kekuasaan Islam
Islam telah menetapkan bentuk kekuasaannya dengan cara menjalankan urusan pemerintahan sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah SWT.
Firman Allah SWT:
“(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara (pengadilan) diantara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka. Juga, berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS Al Maidah: 49)
“Maka putuskanlah perkara (pengadilan) diantara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah: 48)
Dengan demikian maka setiap kekuasaan yang menjalankan urusan pemerintahannya wajib menurut menurut apa yang telah diturunkan Allah SWT, yaitu Kitabullah dan Sunah Rasulullah saw dinamakan pemerintahan/kekuasaan Islam menurut pandangan syara’.
(2) Bentuk Sistem Pemerintahan Dalam Islam
Islam telah menetapkan sekaligus membatasi bentuk sistem pemerintahan dengan Sistem Khilafah. Islam hanya menjadikan satu-satunya sistem pemerintahan bagi Negara Islam.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Hazim, ia berkata:
['Aku menemani Abu Hurairah selama lima tahun, kemudian aku mendengar ia bercerita bahwa Nabi saw bersabda:
“Adalah Bani Israil, yang mengatur urusan mereka adalah para Nabi. Setiap kali meninggal seorang Nabi, maka digantikan oleh Nabi yang lain, Dan bahwasanya tidak ada Nabi sesudahku, dan akan ada para Khulafa, dan kemudian akan banyak sekali (jumlahnya).” (Hadits no. 1842).
Hadits ini dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa sistem pemerintahan Islam sesudah Rasul adalah Sistem Khilafah. Hal ini didukung oleh beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Imamah/Khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan Islam, sebagaimana hadits:
“Akan ada sesudahku para Imam”(Musnad Imam Ahmad Jilid IV hal. 124).
Dan hadits riwayat Imam Muslim:
“Bila dibai’at dua orang Khalifah (pada waktu yang sama), maka, perangilah orang yang kedua …….” (Hadits no. 1853).
Begitu pula hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa sistem pemerintahan dalam Islam tidak lain adalah Sistem Khilafah.
(3) Tata Cara Pengangkatan Khalifah
Islam telah menetapkan tatacara pengangkatan Khalifah, yaitu dengan cara Bai’at. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Nafi’ dari Ibnu Umar, ia berkata: Umar telah mengatakan kepada saya: ‘Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda:
“(Dan) Siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada bai’at (kepada Khalifah), maka ia mati dalam keadaan seperti mati jahiliah.” (Hadits no. 1851).
Juga apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ubadah bin Ash Shamit, ia berkata:
“Kita telah membai’at Rasulullah saw. untuk kita taati dan dengarkan setiap perintahnya, baik waktu senang atau susah, dan kami tidak akan mengambil kekuasaan dari yang berhak dan akan mengatakan yang haq dimanapun kami berada. Tidak takut (karena Allah) akan celaan orang-orang yang mencela”. (Shahih Bukhari no. 7199).
Dalam hadits lain dikatakan:
“Bila dibai’at dua orang Khalifah, maka perangilah orang kedua di antaranya.” (Shahih Muslim no. 1853) Hadits-hadits tersebut diatas dengan jelas menunjukkan cara pengangkatan Khalifah, yaitu dengan cara bai’at yang ditetapkan juga melalui Ijma’ Para Sahabat.
Berdasarkan hal diatas, maka setiap pemerintahan maupun kekuasaan yang berdiri atas dasar sistem Khilafah, dan atau yang di dalamnya berlaku pengangkatan Khalifah dengan cara bai’at, dan menetapkan kekuasaan dengan apa yang telah Allah turunkan, berupa Kitab dan SunnahNya maka negara itu adalah Negara dan kekuasaan Islam yang disyahkan oleh syara’. Begitu juga setiap Khalifah yang diangkat oleh kaum muslimin dan dibai’at atas dasar sikap ridha (tanpa ada paksaan), maka ia dianggap sebagai Khalifah secara Syar’i dan wajib ditaati.
(4) Sistem Pemerintahan yang Bukan Islami
A. Sistem Kerajaan
Sistem kerajaan bukanlah Sistem Islam. Islam tidak mengakui sistem kerajaan, dimana raja dianggap sebagai lambang negara yang memiliki kedudukan tetapi tidak memiliki kekuasaan, dengan kata lain ia memimpin tetapi tidak memerintah, sebagaimana halnya di Inggris dan Spanyol. Sebab, Khalifah bukan hanya sekedar lambang (formalitas) tetapi ia adalah penguasa sekaligus pelaksana Syari’at Allah, yang mana dalam hal ini ia mewakili umat.
Begitu pula Islam tidak mengakui sistem kerajaan yang di dalamnya raja memimpin sekaligus memerintah, seperti yang berlaku di Saudi Arabia dan Yordania. Sebab, Khalifah tidak mewarisi kedudukan Khilafah seperti yang lazim dilakukan oleh para raja, tetapi kaum musliminlah yang memilih dan membai’atnya. Sistem pewarisan tahta tidak dibenarkan dalam Islam. Juga seorang Khalifah tidak mempunyai hak (istimewa) apapun. Ia mempunyai hak yang sama seperti apa yang dimiliki seorang muslim lainnya. Kekuasaan Khalifah tidak lebih tinggi dari undang-undang. Berbeda halnya dengan para raja yang tidak (mau) dikontrol (tidak dikoreksi tingkahlakunya). Dengan demikian Khalifah harus tunduk pada hukum-hukum Allah, dan diawasi setiap langkahnya serta dikoreksi setiap tingkah lakunya.
B. Sistem Republik
Sistem Republik bukanlah Sistem Islam. Ia tidak diakui oleh Islam, baik yang berbentuk Sistem Republik Presidentil, seperti yang berlaku di Amerika Serikat, maupun Sistem Republik Parlementer, seperti yang berlaku di Jerman Barat. Kedua Sistem Republik ini berdiri atas dasar Sistem Demokrasi yang Kedaulatannya berada di tangan rakyat. Sedangkan Sistem Khilafah berdiri atas dasar Sistem Islam, dan kedaulatannya diatur oleh syara’.
Oleh karena itu seorang Khalifah tidak dapat diberhentikan oleh umat, walaupun umat memiliki hak untuk memilih dan mengawasi serta menasehatinya. Khalifah diberhentikan oleh ketentuan hukum Syara’ semata, yaitu bila ia telah menyalahi hukum syara’ dengan suatu kesala`” an yang mewajibkan untuk memberhentikannya. Pemecatannya dilakukan melalui Mahkamah Madzalim (Mahkamah Agung di Negara Khilafah). Mahkamah ini memiliki hak untuk memberhentikan Khalifah berdasarkan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta Ulil Amri (Khalifah dan Aparatnya) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat (berselisih) tentang sesuatu (yang menyangkut pemerintahan), maka kembalikanlah ia kepada (Hukum) Allah dan Rasul (Al-Qur’an dan As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.” (QS An Nisa: 59)
Ayat ini menunjukkan perintah kepada kita agar kembali kepada Hukum Allah dan Rasul-Nya apabila timbul perselisihan (pertengkaran). Wakil dari pelaksanaan hukum Allah dan hukum RasulNya adalah Mahkamah Madzalim (badan inilah yang memecahkan dan memutuskan pertikaian antara umat dengan Khalifah). Sedangkan seorang presiden dalam sistem republik, dipecat oleh rakyat. Sebab, rakyatlah yang memiliki kedaulatan, sekaligus pemilik kekuasaan. Jabatan seorang Khalifah dalam Islam tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu, tetapi dibatasi oleh pelaksanaan hukum Islam. Apabila dia tidak melaksanakan hukum Islam, maka dia dipecat, walaupun baru satu bulan diangkat. Sedangkan dalam sistem republik, masa jabatan presiden ditentukan dalam batas waktu tertentu (misalnya 4 sampai 5 tahun). Bahkan dalam sistem (Republik) Parlementer (dipimpin oleh Perdana Menteri), seorang presiden hanya lambang belaka. Perdana menterilah yang memerintah dan yang membantu presiden. Padahal dalam Sistem Khilafah, Seorang Khalifah adalah “Shahibus Sulthan” (pemilik kekuasaan), dan dialah yang mengendalikan pemerintahan serta mengontrol pelaksanaan administrasi negara. Tidak ada menteri yang memiliki kekuasaan sendiri.
Adapun dalam Sistem Republik Presidentil, seorang presidenlah yang mengendalikan pemerintahan, tetapi tetap dibantu oleh beberapa orang menteri yang memiliki kekuasaan dalam pemerintahan, dan presiden bertindak selaku atasan mereka. Dalam hal ini, dialah yang menduduki jabatan perdana menteri. Keadaan itu berbeda dengan Sistem Khilafah. Khalifah mempunyai tugas untuk mengendalikan roda pemerintahan sendirian, sedangkan aparat-aparat yang mendampinginya hanya bertindak sebagai pembantu Khalifah dan tidak memiliki kekuasaan atau hak sebagaimana para menteri yang terdapat dalam sistem Demokrasi Republik. Pada saat Khalifah memimpin mereka (aparat), maka Khalifah bertindak selaku pemimpin negara, bukan sebagai pemimpin eksekutif. Dari keterangan dan kenyataan itu, terdapat perbedaan yang sangat besar antara sistem Republik dengan sistem Khilafah. Oleh karena itu sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa Pemerintahan Islam adalah republik Islam. Atau, sistem pemerintahan Islam adalah sistem Republik dan bahwasanya Islam memiliki sistem republik. Sebab, antara keduanya terdapat perbedaan dan pertentangan yang menyeluruh dan prinsipil.
(5) Kesatuan Wilayah Khilafah
Sistem Pemerintahan khilafah Islam adalah sistem yang berbentuk kesatuan negara, bukan sistem perserikatan.
Kaum Muslimin di seluruh dunia tidak diperkenankan memiliki lebih dari satu negara Islam. Mereka tidak diperkenankan pula mengangkat lebih dari satu Khalifah, yang menerapkan atas mereka Kitabullah dan Sunnah Rasululullah saw. yaitu Syari’at Islam. Sebab, Dalil Syar’i telah menentukan kesatuan Negara Islam dan mengharamkan memiliki lebih dari satu negara/pemimpin.
Seperti yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa (ia) mendengar Rasululullah saw bersabda:
“(Dan) Siapa saja membai’at (satu) Imam, memberikan uluran tangan (bai’at)nya dan buah hatinya (untuk mengiku`” i perintahnya), maka hendaknya dia mentaatinya. Apabila datang orang lain yang ingin mengambil alih kekuasaannya, maka penggallah lehernya .” (Shahih Muslim no. 1844)
Diriwayatkan pula dari Abi Sa’id Al Khudri, dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:
“Apabila dibai’at dua orang khalifah (pada waktu yang sama), maka perangilah orang yang kedua.” (Shahih Muslim no. 1853).
Berdasarkan riwayat dari Arfajah, bahwa ia telah mendengar Rasululullah saw bersabda:
“Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian ditangani (diatur) oleh seseorang (Khalifah), kemudian dia hendak memecah belah kesatuan umat/jama’ah kalian, maka perangilah dia.” (Shahih Muslim no. 1852).
Semua hadits ini secara tegas menjelaskan bahwa kaum muslimin tidak dibenarkan mempunyai lebih dari satu orang khalifah. Apabila datang orang lain hendak mengambil alih kekuasaannya, maka orang kedua itu wajib dibunuh. Atau jika dibai’at dua orang khalifah, maka yang pertama adalah khalifah yang sah, dan Khalifah yang kedua wajib diperangi apabila tidak mengundurkan diri. Jika seseorang ingin mengambil alih kekuasaan khalifah dengan maksud memecah belah negara, atau dia sendiri ingin menjadi Khalifah, maka orang tersebut wajib diperangi dan dibunuh.
Hadits-hadits tersebut dengan tegas menjelaskan bahwa kaum muslimin tidak dibenarkan memiliki lebih dari satu negara, dan secara tegas pula menyatakan bahwa wajib menjadikan Negara Islam hanya satu negara, bukan negara perserikatan yang terdiri dari negara-negara bagian.
(6) Dasar-Dasar Pemerintahan Islam
Sistem pemerintahan dalam Islam terdiri atas 4 (empat) pilar/asas, yaitu:
A. Kedaulatan adalah Milik Syara’, Bukan Milik Umat
A. Kedaulatan adalah milik Syara’. bukan milik Ummat …..
Kehendak seorang muslim atau umat, tidak diatur oleh dirinya sendiri atau umat, melainkan diatur oleh Allah SWT dengan seluruh perintah dan laranganNya. Sesuai dengan Firman Allah:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (QS An Nisa: 65) Dan firmanNya pula:
“(Dan) tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS Al Ahzab: 36)
Serta firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya serta Ulil Amri (Khalifah dan Aparatnya) di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat (berselisih) tentang sesuatu (yang menyangkut pemerintahan), maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (Al-Quran dan As-sunnah), jIka kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian.” (QS An Nisa: 59)
Juga sabda Rasaulullah saw:
“Tidak beriman seseorang sehingga hawa nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah aku datangkan (yaitu Hukum Syari’at Islam).”(Al Arba’in An nawawiyah, hadits no 40: Fathul Baari: jilid XIII hal. 289)
Semua dalil tersebut diatas ini secara tegas menjelaskan bahwa Kedaulatan adalah milik Allah ditentukan oleh Syari’at Islam, bukanlah milik umat.
B. Kekuasaan adalah Di Tangan Umat
Kekuasaan atau pemerintahan adalah ditangan umat, berdasarkan tatacara yang telah ditentukan oleh Syara’, dalam mengangkat Khalifah yang dipilih oleh kaum muslimin, yaitu dengan cara bai’at. Juga berdasarkan kekuasaan yang diperoleh oleh Khalifah dengan bai’at tersebut, kemudian ia memerintah selaku wakil mereka. Disebabkan Khalifah memperoleh kekuasaannya dengan cara bai’at tersebut, maka hal ini merupakan dalil yang jelas bahwa kekuasaan berada di tangan umat, yang mereka berikan kepada orang yang dikehendakinya.
Disamping itu ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa umatlah yang menunjuk amir, mengangkat dan membai’atnya. Di antaranya, suatu riwayat dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, bahwa Nabi saw telah bersabda:
“Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang di antara mereka sebagai amir (pimpinan).” (Musnad Imam Ahmad: jilid II hal. 177) Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa ta’mir (pengangkatan amir) dilakukan oleh umat. Yang memperkuat pemahaman ini adalah hadits-hadits tentang bai’at telah dikutipsebelumnya yang menunjukkan bahwa yang mengangkat dan membai’at seorang Khalifah adalah umat.
C. Mengangkat seorang Khalifah untuk seluruh kaum muslimin sebagai wakil mereka dalam pemerintahan adalah fardlu atas mereka
Hal ini telah dijelaskan dalam hadits-hadits terdahulu mengenai pengangkatan Khalifah dan wajib hanya satu Khalifah dan ketentuan ini telah disepakati oleh Ijma Para Sahabat.
D. Khalifah Berhak Menetapkan Hukum-hukum Syara’ yang Akan Dilaksanakan dalam Pememrintahan, dan Hanya Al-Khalifahlah yang Berhak Membuat/ Mementukan Konstitusi dan Perundang-undangan
Berdasarkan Ijma Sahabat telah ditetapkan bahwa hanya Al-Khalifah sajalah yang memiliki hak untuk menetapkan hukum. Dari Ijma sahabat ini dapat diambil beberapa kaedah syara’ yang sangat terkenal ( di kalangan Para Fuqaha), yaitu:
“Perintah Imam menghilangkan perselisihan (dikalangan fuqoha”
“Perintah Sulthan (Khalifah) berlaku dzahir maupun bathin”
“Bagi seorang Sulthan dibolehkan mengambil keputusan hukum sesuai dengan masalah yang terjadi”.
(7). Struktur Pemerintahan Islam
Struktur Pemerintahan Islam terdiri atas 9 (sembilan) bagian pokok, yaitu:
(1) Khalifah
(2) Mu’awwin Tafwidl (pembantu Khalifah yang mempunyai kekuasaan penuh)
(3) Mu’awwin Tanfidz (Pembantu Khalifah dalam Kesekretariatan)
(4) Amirul Jihad
(5) Para Wali (gubernur)
(6) Para Qadli (Badan pengadilan)
(7) Al Jihazul Idari Mashalihud Daulah (Aparat adminis trasi)
(8) Majelis Umat
(9) Angkatan Bersenjata
Semua bagian pokok ini diambil dari perbuatan yang telah dilakukan Rasulullah saw. Beliau telah menetapkan Struktur Pemerintahan Islam ketika Beliau menjadi kepala negara, dan telah menetapkan kepada kaum muslimin agar (selalu) memiliki seorang Khalifah. Beliau telah memilih Abu Bakar dan Umar sebagai pembantunya.
Sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan dari Tirmidzi:
“Adalah dua orang yang aku pilih diantara penduduk bumi sebagai Wazir (pembantuku), yaitu Abu Bakar (Shiddiq) dan Umar (ibn Al-Khaththab).” (sunan Tirmidzi no. 3761)
Sebagaimana diketahui bahwa kata Wazir menurut ketetentuan bahasa adalah pembantu , walaupun kata ini juga digunakan untuk menteri dalam istilah Demokrasi Barat, tetapi bukan inilah yang dimaksud.
Rasul juga telah menunjuk para amir (komandan) untuk Jihad dan Perang, mengangkat para wali untuk setiap wilayah. Seperti halnya beliau mengangkat Mu’adz sebagai wali di Yaman, Attab bin Usaid sebagai wali Makkah (setelah Fathu Makkah). Rasul mengangkat pula para qadli untuk mengadili dan memecahkan perselisihan yang terjadi diantara manusia (anggota masyarakat). Misalnya, beliau menunjuk Ali sebagai qadli di Yaman. Mengirim Rashid bin Abdullah sebagai amir urusan Qadla dan Madzalim.
Adapun mengenai aparat administrasi, beliau telah menunjuk beberapa orang jurutulis untuk urusan administrasi (pelayanan masyarakat). Kedudukan mereka ini setingkat dengan “Dirjen” sekarang. Beliau menunjuk Mu’aiqiib bin Abi Fatimah sebagai pencatat harta rampasan perang rampasan perang, Hudzaifah bin Yaman sebagai pencatat hasil-hasil pertanian (kurma) di Hejaz.
Tentang Majelis Umat, Rasulullah saw tidak memiliki majelis yang bersifat tetap, tetapi beliau meminta pendapat kaum muslimin jika beliau menghendaki. Beliau pernah mengumpulkan para Sahabat, meminta pendapat mereka pada saat Perang Uhud, atau mengumpulkan para Shahabat dan meminta pendapat mereka pada saat lain.
Adakalanya beliau memanggil orang-orang tertentu (secara periodik) untuk dimintai pendapatnya. Mereka ini merupakan tokoh-tokoh (pemimpin) kaumnya. Tersebutlah di antaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Umar, Ja’far, Ali, Ibnu Mas’ud, Salman, Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad, Sa’ad bin Ubadah dan Sa’ad bin Mu’adz. Kumpulan sahabat-sahabat ini setaraf dengan Majelis Syura. Beliau meminta pendapat kepada mereka pada setiap saat mereka berkumpul.
Begitu pula beliau telah membentuk pasukan perang, dan berperan sebagai panglima perang, disamping itu menunjuk komandan dalam berbagai peperangan.
(8) Partai-Partai Politik
Kaum muslimin secara syar’i mempunyai hak untuk mendirikan partai-partai politik, yang berfungsi mengawasi dan mengoreksi para penguasa dalam menjalankan roda pemerintahannya; atau ia merupakan jenjang menuju tangga pemerintahan melalui umat, asalkan memenuhi syarat, yaitu: wajib berdasarkan pada Aqidah Islam. Begitu pula hukum-hukum dan pemecahan persoalan hidup yang ditetapkan oleh partai-partai tersebut wajib berdasarkan Islam. Mendirikan partai tidak memerlukan surat izin. Dibolehkan adanya banyak partai politik berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 104:
“(Dan) hendaklah ada di antara kamu segolongan umat (organisasi, kelompok, partai) yang mengajak kepada kebaikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”
(9) Pengawasan Pemerintahan
Allah SWT telah mewajibkan Kaum Muslimin untuk taat kepada penguasa, dan memerintahkan mereka untuk senantiasa mengawasi dan mengoreksi tingkah laku penguasa. Allah SWT memerintahkan kaum muslimin dengan perintah yang tegas agar mengawasi para penguasa dan meluruskan langkah-langkahnya apabila mereka tidak memperdulikan hak dan urusan, atau tidak menunaikan kewajibannya terhadap rakyat; atau melalaikan salah satu urusan umat, menyalahi salah satu hukum-hukum Islam, serta tidak menjalankan urusan pemerintahannya berdasarkan dengan apa diturunkan Allah SWT. Rasulullah saw bersabda:
“Seutama-utamanya jihad adalah ucapan/menyampaikan (kata-kata) yang haq di hadapan penguasa yang dhalim.”
Beliau juga bersabda:
“Pemimpin para Syuhada adalah Hamzah, dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang dhalim kemudian (ia) menasehatinya, lalu penguasa tadi membunuhnya.”
(10) Taat Kepada Penguasa yang Menerapkan Hukum Islam adalah Wajib, Selama (Ia) Tidak Menyuruh Mengerjakan Maksiyat
Taat kepada penguasa muslim yang memerintah dengan apa yang telah Allah turunkan adalah wajib bagi kaum muslimin, selama ia tidak memerintahkan kepada kemaksiyatan, atau selama ia tidak menampakkan kekufuran secara terang-terangan dalam pemerintahannya. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya serta Ulil Amri diantara kamu.” (QS An Nisa: 59)
Taat kepada penguasa muslim (yang memerintah dengan apa yang diturunkan Allah) adalah perintah yang mutlaq, kecuali jika ia memerintahkan/menyeru rakyatnya melanggar hukum syara’. Rasulullah saw bersabda:
“Mendengar (perintah Amir atau Khalifah) dan melaksanakannya adalah wajib bagi setiap muslim dalam hal yang ia sukai atau yang ia benci selama tidak diperintahkan untuk malakukan maksiyat. Jika ia diperintahkan untuk melakukan makshiyat, maka tiada (usah) mendengar (perintahnya) dan tidak (perlu) taat (kepadanya)”.(Shohih Muslim no 1839).
(11) Memberontak Terhadap Pemerintahan Islam adalah Haram, kecuali Bila (Pemerintahan Itu) Melaksanakan (Hukum) Kekufuran dengan Nyata.
Islam mengharamkan sikap menentang terhadap para penguasa selama mereka tetap melaksanakan (Hukum) Islam, sekalipun berlaku zhalim. Seorang penguasa yang bertindak dhalim akan diminta pertanggung-jawaban terhadap kedhalimannya. Tidak dibenarkan menentang dan memerangi para penguasa hanya karena tindakannya yang dhalim itu. Rasulullah saw bersabda:
“Siapa saja yang melepaskan diri dari keterikatannya dengan jama’ah kaum muslimin, maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya sampai dia kembali ke jamaahnya .” (Nailul Author, VII, hal. 196).
Dan terdapat keterangan yang jelas dalam beberapa hadits mengenai larangan memerangi para penguasa sekalipun bertindak dhalim, kecuali (satu keadaan), yaitu apabila mereka memerintah dengan kekufuran yang nyata yang tidak diragukan lagi bahwa mereka telah melakukan kekufuran itu dengan (tolok ukur) dalil-dalil yang pasti. Rasulullah bersabda:
“Akan ada para amir (penguasa), maka kalian (ada yang) mengakui perbuatannya dan (ada yang) mengingkarinya. Barangsiapa yang mengakui tindakannya (karena tidak bertentangan dengan syara’), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya, dan barangsiapa yang mengingkari perbuatannya maka dia selamat. Tetapi barangsiapa yang ridha (dengan perbuatannya yang bertentangan dengan syara’) serta mengikutinya, maka dia berdosa. Para Sahabat bertanya: ‘Apakah kita tidak memerangi mereka ?’ Jawab Nabi saw: ‘Tidak, selama mereka mendirikan shalat.” (Shahih Muslim no. 1854)
Shalat disini merupakan “kinayah” (makna implisit) dari pelaksanaan Hukum Islam. Dalam hadits Auf bin Malik yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dikatakan:
“Wahai Rasul, tidakkah kami perangi saja mereka itu dengan pedang?” Beliau menjawab: ‘Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian.”
(Shahih Muslim no. 1855)
Juga dalam hadits Ubadah bin Ash-Shamit tentang masalah bai’at shahabat kepada Rasulullah terdapat keterangan sebagai berikut:
“(Dan) Hendaklah (kita) tidak merampas kekuasaan dari yang berhak, kecuali (sabda Rasulullah saw) bila kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti (tentang kekufuran itu) dari sisi Allah SWT.” (Shohih Bukhari: 7056; Shohih Muslim: 1709)
Beberapa Hukum tentang Sistem Ekonomi Islam
Dalam buku “An Nizham Al Iqtishadi fil Islam” (Sistem Ekonomi Dalam Islam) Hizbut Tahrir telah menguraikan pada bagian muqaddimah, secara panjang lebar tentang kritikan terhadap pemikiran-pemikiran Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Komunis Sosialis. Hizb telah menjelaskan kekacauan dan kekeliruannya secara menyeluruh (mendasar), dan telah memaparkan pula bagaimana sistem dan pemikiran ekonomi tersebut bertentangan dengan sistem dan pemikiran ekonomi Islam disertai hukum-hukumnya. Di bawah ini akan dicantumkan berbagai pemikiran dan hukum tentang sistem ekonomi Islam.
(1) Politik Perekonomian Dalam Islam
Politik perekonomian Islam merupakan jaminan bagi tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok untuk setiap individu rakyat secukup-cukupnya, dan memberikan kesempatan mendapatkan kebutuhan pelengkap dalam batas-batas wajar, sebatas kemampuannya, sebagaimana ketentuan tentang bagaimana individu tersebut hidup dalam masyarakat Islam yang mempunyai bentuk kehidupan tertentu dan khusus yang berbeda dengan sistem kehidupan lainnya.
Oleh karena itu, Syari’at Islam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan bagi setiap individu secara merata (adil/proporsional). Semua itu bisa terwujud kalau ada usaha dari setiap individu untuk bekerja dan berkarya agar kebutuhan pokoknya terpenuhi, juga bagi orang-orang yang wajib dicukupi nafkahnya, termasuk anak-anaknya dan ahli warisnya yang tidak mampu untuk bekerja. Tetapi jika tidak ada wali atau ada tetapi tidak mampu memberikan nafkah, maka kewajiban itu dipikul oleh Baitul Mal (Kas Negara). Dengan demikian Islam menjamin kebutuhan primer (maupun sekunder) secara layak bagi setiap individu rakyat.
(2) Pandangan Islam terhadap Problema Ekonomi
Problema ekonomi dunia yang pokok pada saat ini terletak pada pembagian kekayaan (distribusi) dan penggunaannya bagi rakyat. Dengan kata lain, problema ekonomi yang utama itu sebenarnya terletak pada cara pembagian (distribusi) kekayaan, bukan dengan cara menaikkan pendapatan perkapita (hanya melihat standar GNP), atau meningkatkan produksi (hanya melihat economic growth).
(3) Ketentuan Hak Pemilikan
Kekayaan pada dasarnya adalah milik Allah SWT. Dialah yang memberikan kekuasaan pada manusia untuk mengelolanya. Dengan kekuasaan ini, manusia berhak memiliki harta. Tetapi pemilikan harta tersebut tidak lain adalah atas dasar idzin Allah SWT bagi individu untuk memiliki harta tersebut. Allah SWT berfirman:
“(Dan) Berikanlah kepada mereka sebagian harta yang Alloh telah karuniakan kepadamu.” (QS An Nur: 33)
Dan Allah SWT berfirman pula:
“(Dan) nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al Hadid: 7)
Allah menjadikan manusia penguasa terhadap hartaNya yang hakekatnya dimiliki oleh Allah SWT. Sebab, Allahlah yang memberikan kekuasaan seperti itu kepada umat manusia.
(4) Bentuk-bentuk Pemilikan
Pemilikan terdiri dari tiga jenis:
a. Pemilikan Individu
b. Pemilikan Umum
c. Pemilikan Negara
a. Pemilikan Individu
A. Pemilikan Individu
Pemilikan individu merupakan idzin dari Syari’ (Allah SWT) kepada manusia dalam hal penggunaannya, baik yang dipakai langsung habis, dimanfaatkan atau ditukarkan. Islam telah menjadikan pemilikan individu sebagai hak baginya yang ditentukan oleh syara’. Seseorang boleh memiliki harta “bergerak”, semisal ternak, uang, mobil, pakaian atau yang “tidak bergerak”, semisal tanah, rumah, pabrik.
Syara’ telah memberikan kekuasaan kepada individu atas apa yang telah dimilikinya untuk mengaturnya sendiri. Namun demikian syara’ juga telah menetapkan dan membatasi sebab-sebab pemilikan harta yang boleh dimiliki oleh manusia sekaligus pengembangannya. Syara menetapkan pula cara pengaturan harta.
a.1. Sebab-Sebab Pemilikan Harta.
Allah SWT sebagai pencipta hukum (Syari’) telah menetukan beberapa sebab mengapa seseorang boleh memiliki harta dan mengembangkannya. Salah satu sebab pemilikan tersebut adalah dengan bekerja, baik itu bekerja sendiri (wiraswasta) maupun bekerja untuk orang lain. Bentuk-bentuk pekerjaan tersebut, meliputi membuka lahan (menghidupkan tanah yang mati), berburu, mengeksploitasi bumi, menjadi perantara (broker), mengelola modal dengan cara sistem mudlorobah, musaqat (“maro” hasil dari menyiram kebun/sawah) dan sebagainya. Syara’ juga menjadikan di antara sebab-sebab pemilikan yang lain, misalnya melalui waris, atau usaha untuk mendapatkan harta karena ingin mempertahankan hidup (misalnya mencuri karena lapar yang sangat); pemberian negara dari Baitul Mal kepada rakyat; atau harta yang didapat tanpa harus bekerja terlebih dahulu, seperti harta hibah, hadiah, wasiat, pemberian honorarium, denda (diyat), mahar, maupun hasil temuan.
Begitu pula Syari’ (Allah SWT) telah menjadikan beberapa usaha (mata pencaharian) seperti pertanian, perdagangan, industri, sebagai salah satu cara pemilikan yang sah untuk aktifitas pengembangan dan cara mendapatkan harta.
a.2. Cara Pemilikan Individu yang Terlarang
Syara’ telah menentukan cara pengembangan harta , disamping menentukan cara-cara yang terlarang (tidak sah) untuk dijadikan sumber mata pencaharian dan pengembangan harta. Syara’ melarang mencari dan mengembangkan harta dengan beberapa cara, antara lain:
a.2.1. Perseroan Terbatas menurut Sistem Kapitalis
Sesungguhnya syarikat saham (Perseroan Terbatas) adalah suatu syirkah yang tidak diakui/disyahkan oleh Islam. Islam telah mengharamkan adanya Syarikat Saham. Karena PT tidak memenuhi syarat-syarat berdirinya syirkah menurut ketentuan nash-nash syara’ (seperti Rukun Akad atau Ijab Kabulnya), maka syirkah dengan cara tersebut haram dijalankan.
Syirkah semacam ini terbentuk hanya kehendak dari satu fihak, yaitu pemegang saham. Yang ladzim terjadi dalam pembentukan syirkah semacam ini adalah bahwa seseorang hanya dengan menandatangani syarat-syarat syarikat (menurut cara PT), maka sahlah dia menjadi rekanan. Juga hanya dengan pembelian saham, maka siapapun bisa menjadi rekanan dalam perusahaan tersebut.
Menurut sistem Kapitalisme syirkah semacam ini lebih banyak ditentukan oleh satu pihak. Dalam syarikat saham tidak terdapat dua pihak yang melakukan aqad, yang ada hanyalah satu pihak pengatur (pengelola). Dalam prosesnya tidak ada ijab qabul, tetapi yang ada hanyalah ijab, yang terjadi di antara pemegang saham, tidak ada pihak syarikul badn/rekanan yang mengelola modal saat syirkah itu dibentuk. Yang ada hanyalah modal (syarikul Maal) saja. Dalam bentuk angka.
Secara syar’i, sebuah syarikat wajib berdiri atas persepakatan ijab qabul dari dua pihak, seperti yang terjadi dalam proses jual beli, sewa menyewa dan berbagai transaksi yang sejenisnya. Dalam proses aqad syirkah boleh ada dua pihak yang berperan sebagai pengelola usaha atau yang satu sebagai pengelola dan yang lain pihak pengelola modal tersebut. Oleh karena itu syarikat saham (PT) tidak syah, karena tidak memenuhi salah satu rukun dari rukun-rukun aqad. Berdasarkan penjelasan diatas, maka saham termasuk jenis syirkah yang dilarang oleh syara’. Sebab, ia menyalahi hukum syara’, yaitu meninggal`” an perintah Allah berupa syarat-syarat berlakunya syarikat, sekaligus melakukan apa yang dilarang (diharamkan) Allah, yaitu melanggar perintahNya atau perintah Rasulullah saw. Firman Allah SWT:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih (QS An Nuur 63).
a.2.2. Mendapatkan Harta dan Mengembangkannya dengan Menyalahi Ketentuan Syara’
Syara’ juga melarang mendapatkan dan mengembangkan harta melalui cara-cara riba, menimbun harta, berjudi, menipu, pemalsuan uang dan barang, menjual sesuatu yang telah diharamkan (seperti khamar, daging babi, bangkai, salib, pohon natal), mencuri, mencopet, merampas, sogok maupun penggelapan (korupsi).
b. Pemilikan Umum
Jenis pemilikan kedua adalah pemilikan umum. Ia merupakan jenis pemilikan yang oleh syari (Allah SWT) telah dijadikan milik bersama untuk kaum muslimin. Setiap individu dibolehkan memanfaatkannya, tetapi dilarang memilikinya. Ada tiga macam sumber daya alam yang termasuk dalam kategori ini termasuk dalam pemilikan umum, yaitu:
(1) Fasilitas Umum, yang Merupakan Kebutuhan Pokok bagi Masyarakat Sehari-hari, dan Akan Menimbulkan Kesulitan Jika Tidak Ada (harus ada), Misalnya Air.
Tentang pemilikan bersama ini, Rasulullah saw bersabda:
“Masyarakat bersyarikat dalam tiga macam sumber daya alam, yaitu air, padang pengembalaan dan api (bahan bakar seperti kayu, minyak dan lain-lain).” (HR. Abu Ubaid dalam kitab al-’amwal, no. 729).
Bentuk pemilikan umum seperti ini tidak terbatas pada tiga macam sumber daya tersebut, melainkan mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat. Bahkan termasuk di dalamnya adalah setiap alat yang digunakan untuk menghasilkan ketiga macam sumber daya tadi. Alat-alat yang tergolong kelompok ini akan menjadi milik umum, misalnya pompa air, instalasi air yang menghubungkan sentral dengan konsumen, alat pembangkit listrik tenaga air (PLTA), tiang-tiang beserta kabelnya, semuanya ini adalah merupakan milik umum.
(2) Sumber Daya Alam yang Tabiat Pembentukannya Menghalangi Pemi likan Individu Secara Perorangan, Misalnya, Laut, Sungai, Lapangan Masjid, Jalan Raya, dan Sebagainya. Sabda Rasulullah saw:
“(Kota) Mina, menjadi hak bagi siapa saja yang datang lebih dahulu (untuk menempatinya)”. (Sunan Tirmizi no. 882, Ibnu Majah No 3006-3007, Al Hakim, jilid I, hal. 467).
Termasuk dalam jenis kategori ini adalah kereta api, tiang listrik, instalasi air, gorong-gorong (got) yang melintas dibawah jalan (sebab, jalan adalah milik umum dan tidak boleh dikuasai secara perorangan oleh individu), juga tidak boleh seseorang mengambil sesuatu yang telah menjadi milik umum, untuk kepentingan pribadi. Rasulullah saw bersabda:
“Tidak ada yang berhak membuat pagar pembatas atas sesuatu, kecuali Alloh dan RasulNya”. (Shahih Bukhari No. 2370, 3013; Abu Daud No. 3083).
Penentuan pagar pembatas atas sesuatu (tanah dan sebagainya) tidak boleh dibuat, kecuali oleh Negara.
(3) Bahan Tambang yang Tak Terbatas.
Yang dimaksud dengan bahan tambang yang tak terbatas adalah bahan tambang yang ada dalam jumlah banyak. Maka barang tambang ini menjadi milik kaum muslimin. Oleh karena itu tidak dibolehkan seorang (individu) atau suatu perusahaanpun yang memilikinya. Tidak ada hak istimewa bagi individu atau suatu perusahaanpun untuk mengeksploitasi, mengolah serta memonopoli pendistribusian hasil-hasilnya. Barang tambang ini harus tetap menjadi milik umum milik bersama Kaum Muslimin. Aktifitas eksplorasi dan ekploitasi dikelola sendiri oleh negara, atau dikontrakkan kepada kontraktor. Produknya dijual atas nama Kaum Muslimin, dan pendapatannya disimpan di Baitul Mal.
Dalam membahas bahan tambang ini tidak diperhatikan apakah ia berada diatas permukaan bumi atau dalam perut bumi seperti garam, batu celak dan diekploitasi dengan susah payah seperti emas, perak, tembaga, besi, platina, timbal, uranium, minyak dan tambang tambang lainnya. Semua itu termasuk dalam kategori pemilikan umum.
Dalil yang menunjukkan hukum ini adalah berdasarkan riwayat Abyadl bin Hamaal Al Maazini, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk mengelola tambang garamnya di Daerah Ma’rab. Lalu Rasulullah saw memberikannya. Setelah ia pergi, para sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau tidak lain telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir. Maka Rasulullah saw kemudian menarik kembali pemberiannya. (HR. Abu Ubaid ibidem No. 685) Adapun tentang barang tambang yang jumlahnya sedikit (misalnya sis-sisa tambang emas atau perak), maka ia tidak termasuk dalam pemilikan umum, dan boleh dimiliki secara perorangan. Rasulullah saw pernah memberikan hak pemilikan kepada Bilal bin Harits Al-Muzni sebuah tambang yang dimiliki oleh qabilahnya dan terletak di sebelah Fara’ di Hejaz. Waktu itu Bilal meminta tambang tersebut kepada Rasulullah saw, maka Rasul memberikannya. (Abu Ubaid, Ibidem No. 679)
b.1. Tatacara Penggunaan Milik Umum
Pemilikan umum adalah salah satu jenis pemilikan bersama di antara kaum muslimin. Maka setiap orang dapat memanfaatkannya. Jika milik umum ini berupa sesuatu yang mudah diperoleh (dan siap dipakai), misalnya air, padang penggembalaan, bahan bakar, jalan raya, sungai, laut, maka seseorang boleh memanfaatkannya secara langsung tanpa syarat tertentu.
Jika sumber daya alam yang merupakan milik umum itu tidak dapat dimanfaatkan dengan mudah oleh individu, misalnya minyak dan barang tambang, maka eksploitasinya menjadi hak dan kewajiban negara. Sedangkan hasil penjualannya disimpan di Baitul Mal. Khalifah mengalokasikannya untuk kepentingan kaum muslimin, kholifah dapat mendistribusikan hasil produksi pemilikan umum sebagai berikut:
(1) Biaya administrasi dan ekploitasi sumber daya alam seperti membangun zona industri, penggalian milik umum; mendirikan perumahan; menggaji pegawai, konsultan, tenaga ahli; membeli alat-alat dan mendirikan Pabrik-pabrik.
(2) Membagikan sumber daya alam ini merupakan hak bagi pemilik dari sumber daya ini. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas, minyak, listrik dengan cuma-cuma. Atau dalam ben tuk uang hasil penjualan, yang kesemuanya berdasarkan apa yang dianggap baik dan memberikan kemaslahatan bagi kaum muslimin suatu kebaikan dan kepentingan Kaum Muslimin.
(3) Dialokasikan sebagian dari milik umum ini untuk biaya jihad dan perlengkapannya, bekal pasukan perang dan biaya yang wajib dikeluarkan oleh Baitul Mal, baik daam keadaan kas negara penuh atau kosong, dan atau yang diwajibkan atas kaum muslimin untuk memberikan infaknya (secara sukarela, bila kas negara kosong atau tidak mencukupi untuk keperluan tersebut).
c. Pemilikan Negara
Pemilikan Negara adalah setiap tanah atau bangunan yang padanya terdapat hak yang merupakan milik bersama bagi seluruh kaum muslimin akan tetapi tidak termasuk dalam kategori pemilikan umum, Oleh karena itu pemilikan negara adalah benda/area yang biasanya dapat dimiliki oleh individu, seperti tanah, bangunan dan benda-benda bergerak. Tetapi karena didalam benda/area tersebut terdapat hak bersama bagi seluruh kaum muslimin, maka pengelolaan, pemeliharaannya serta pengaturannya diserahkan kepada Khalifah atau Daulah. Sebab, Khalifahlah yang berhak mengatur dan mengelola setiap sesuatu yang berkaitan dengan hak kaum muslimin secara keseluruhan, seperti padang pasir, gunung, pantai, tanah mati yang belum digarap dan tidak dimiliki seseorang, bangunan dan perkantoran yang dibeli atau dibangun oleh negara atau yang dirampas dari tangan musuh dalam peperangan seperti bangunan, departemen kantor, sekolah, rumah sakit dan sejenisnya.
Negara berhak memberikan sebagian dari apa yang dimilikinya, yang pada umumnya boleh dimiliki oleh individu, baik berupa tanah atau bangunan. Khalifah boleh memberi hak pemilikan terhadap benda/area tersebut kepada anggota masyarakat, sekaligus memberi hak penggunaannya atau hanya memberikan hak penggarapan saja tanpa hak milik; atau sekaligus memilikinya. Dibolehkan mereka membuka tanah yang mati. Dalam hal ini, khalifah bebas memutuskan apa saja yang dianggap penting untuk kaum muslimin.
T a n a h
Setiap jenis tanah mempunyai lahan sekaligus memiliki manfaat. Lahan adalah dzat tanahnya itu sendiri,sedangkan manfaat adalah penggunaannya, misalnya untuk pertanian dan yang lainnya. Islam membolehkan memiliki lahan dan pemanfaatannya. Tetapi Islam juga menentukan hukum bagi masing-masing pemilikan secara khusus.
Macam-macam Tanah
Tanah terdiri dari dua macam:
(a) Tanah ‘Usyriyah
(b) Tanah Kharajiyah
(a) Tanah ‘Usyriyah
(a) Tanah ‘Usyriyah
Tanah jenis ini adalah tanah yang penduduknya telah masuk Islam (tanpa peperangan), seperti Indonesia, Jazirah Arab, atau tanah yang dibuka/digarap oleh manusia. Tanah ‘Usyriah dapat dimiliki dzat tanahnya serta manfaatnya. Tetapi, diwajibkan atasnya membayar zakat hasil bumi, yaitu 1/10 (sepersepuluh) jika diairi dengan air hujan dan 1/20 (seperduapuluh) jika melalui pengairan teknis/irigasi.
(b) Tanah Kharajiyah
Tanah jenis ini adalah tanah yang dikuasai/ditaklukkan melalui peperangan atau perjanjian damai, selain jazirah Arab. Contoh tanah seperti ini adalah Iraq, Syam, Mesir serta negeri-negeri lain yang ditaklukan secara paksa. Apabila masuk dalam kategori ini, lahan tersebut menjadi milik Kaum Muslimin, Dalam memiliki lahan tersebut. Bagi individu dibolehkan mengambil dan memiliki manfaat tanah kharajiah.
Diwajibkan atas tanah kharajiyah pembayaran “kharaj” yaitu pembayaran dengan kadar tertentu yang telah diwajibkan oleh negara atas tanah tersebut, serta wajib dikeluarkan zakat atas hasil bumi tanah ini bila telah mencapai nishabnya, dan sesudah dikeluarkan kharajnya. Setiap individu berhak memanfaatkan tanah ‘Usyriyah maupun Kharajiyah dengan cara jual beli, waris, hibah, dan sebagainya. Seperti halnya dengan jenis harta lainnya.
I n d u s t r i
Setiap orang dibolehkan memiliki jenis industri secara perorangan, seperti industri automotive (mobil), peralatan konfeksi/perabotan (furniture), pemintalan (tenun), pengalengan dan industri sejenis lain yang memang dibolehkan untuk dimiliki secara pribadi.
Industri juga boleh dimiliki negara, seperti industri persenjataan, pengeboran minyak dan industri barang-barang tambang, serta industri jenis lainnya. Industri dapat menjadi milik umum, apabila bahan bakunya termasuk kategori pemilikan umum misalnya industri logam (besi dan baja), tembaga, emas, perak, eksplorasi minyak dan industri lainnya yang bahan bakunya termasuk milik umum. Industri semacam ini dapat dimiliki sesuai dengan jenis bahan baku yang dipergunakannya, sesuai dengan kaedah pemilikan industri yang telah digali dari nash-nash syara’, yaitu:
“Sesungguhnya pemilikan industri tergantung pada bahan baku yang dipergunakan.”
Baitul Mal
(a) Sumber-sumber Baitul Mal
(1) Anfal, ghanimah, fa’i, dan khumus ( 1/5 dari harta rampasan).
(2) Kharaj.
(3) Jizyah.
(4) Pendapatan milik umum yang beraneka ragam dan harus disimpan dalan kas tersendiri/terpisah).
(5) Pendapatan milik negara, baik berupa tanah, bangunan dan lain-lain. (6) ‘Usyur yang diambil dari sepanjang garis perbatasan negara.
(7) Seperlima (1/5) dari rikaz (harta karun) dan sumber daya alam.
(8) Pajak (bersifat temporer).
(9) Harta zakat (disimpan dalam kas tersendiri/terpisah)
(b) Kewajiban Menggunakan mata uang Emas dan Perak
Di masa Rasulullah saw, kaum muslimin menjadikan mata uang emas dan perak sebagai standart nilai tukar. Mereka telah menggunakan kedua-duanya. Ketika itu mereka tetap menggunakan Dinar Bizantium dan Dirham Persia yang menjadi standart mata uang. Mereka tidak mencetak mata uang yang khas sejak zaman Rasululullah saw sampai pada Pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, dimana pada saat itu mulai dicetak mata uang Islam yang khas, dengan bentuk, model dan ukiran yang islami, serta sesuai dengan standard satuan emas dan perak dengan ukuran Dinar atau Dirham secara syar’i.
Islam telah mengkaitkan beberapa hukum syara’ dengan nilai emas dan perak, bendanya maupun nilai tukarnya dan fungsinya sebagai upah dan harga tukar). Syara’ mengharamkan menyimpan kedua benda ini (tanpa dibelanjakan). Syara’ telah mengkaitkan beberapa hukum dengan kedua mata uang tersebut yang bersifat tetap (tidak berubah). Misalnya, Islam telah mewajibkan zakat atas kedua benda tersebut, fungsi gandanya: sebagai mata uang dan nilai tukar dalam jual beli, disampingditentukan “nishab” (nilai minimal harta untuk dizakatkan) dari emas dan perak.
Tatkala syara’ mewajibkan denda/diyat ditentukan pembayarannya dengan emas dan perak disamping menetapkan ukuran/beratnya, yaitu emas seharga 1000 Dinar, dan perak 12.000 Dirham. Standard itu juga digunakan untuk kasus pencurian, yaitu bahwa syara’ menentukan bahwa pencuri boleh dipotong tangannya (setelah mempertimbangkan hal-hal lainnya) apabila pencuri tersebut mengambil suatu benda seharga emas lebih dari 1/4 (seperempat) Dinar, atau perak senilai 3 (tiga) dirham. Standard ini juga dipakai untuk menentukan hukum yang menyangkut tukar menukar uang dalam kegiatan penjualan mata uang (bursa valas/foreign exchange).
Keterkaitan hukum-hukum Islam tadi dengan mata uang emas dan perak sebagai mata uang dan sebagai alat bagi kegiatan jual beli yang biasa berlangsung adalah suatu pengakuan yang disahkan oleh Rasulullah saw dengan menjadikan emas dan perak sebagai satuan standard keuangan yang dipakai untuk nilai tukar, membayar upah tenaga kerja dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa mata uang dalam Islam adalah emas dan perak. Sebab, seluruh hukum yang terkait erat dengan mata uang selalu dihubungkan dengan emas dan perak.
Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin menjadikan emas dan perak sebagai satu-satunya mata uang yang dipakai. Negara Khilafah wajib menjadikan emas dan perak sebagai mata uang dan memberlakukannya sesuai dengan ketentuan emas dan perak seperti yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah saw dan para Khalifah sesudah beliau.
Negara mempunyai kewajiban untuk mencetak dinar dan dirham dalam bentuk dan model tertentu yang khas bagi negara khilafah, menjadikan ukuran satu dinar senilai dengan dinar syar’i, yaitu 4.25 gram yang sama dengan ukuran satu mitsqol. Kemudian menjadikan ukuran dirham dengan ukuran dirham syar’i yang lazim dinamakan “timbangan tujuh”, yaitu setiap 10 dirham beratnya 7 mitsqol, maka dicetak satu dirham dengan ukuran 2.975 gram.
Ketentuan standart emas dan perak merupakan satu-satunya patokan yang mampu mengatasi krisis mata uang dan bentuk-bentuk inflasi yang berlebihan yang melanda sebagian besar belahan bumi. Karena itu untuk mewujudkan stabilitas keuangan dan penetapan nilai tukar serta untuk memajukan perdagangan internasional, maka wajib digunakan mata uang mas dan perak sebagai standard nilai tukar yang mampu mengatasi dominasi Amerika lewat dollarnya dalam Dana Moneter Internasional, perdagangan dan ekonomi keuangan dunia. Kembali kepada standard emas dan perak ini, berarti akan menyebabkan dollar Amerika kehilangan pengaruhnyayang sangat berarti di dunia.
Strategi Pendidikan
Program pendidikan wajib dilandaskan kepada aqidah Islam. Hal ini berarti bahwa kurikulum pendidikan dan metode pengajaran seluruhnya disusun berdasarkan landasan aqidah ini dan tidak boleh keluar sedikitpun dari landasan tersebut.
Oleh karena itu, strategi pendidikan adalah usaha yang ditempuh untuk membentuk ‘Aqliyah dan Nafsiyah Islamiyah (pola pikir dan pola jiwa Islam). Maka, seluruh materi pendidikan yang hendak diajarkan wajib disusun berdasarkan strategi ini.
Tujuan pendidikan adalah melahirkan syakhshiyah Islamiyah (kepribadian Islam), serta membekali manusia dengan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan. Itulah sebabnya mengapa wajib diberikan pengajaran tentang Tsaqafah Islamiyah (Kebudayaan Islam) pada setiap tingkat pendidikan.
Beberapa Ide dan Hukum tentang Hubungan Kemasyarakatan dan Politik Luar Negeri
Politik adalah pengaturan seluruh urusan umat dan negara, di dalam maupun di luar negeri. Politik tersebut dapat dilaksanakan oleh negara dengan menerapkan peraturan Islam di tengah-tengah rakyat, mengatur urusan dan kepentingan mereka di dalam negeri, mengetahui kondisi/situasi internasional serta politik negara-negara besar yang berpengaruh di dunia. Juga, mencakup pembi`” aan hubungan luar negeri dengan berbagai negara sesuai dengan keperluan penyampaian dakwah ke seluruh dunia melalui jalan dakwah dan jihad.
Peranan politik juga dapat dilakukan oleh ummat, partai-partai politik yang ada di tengah ummat dengan cara mengawasi dan mengontrol para penguasa ketika mereka mengatur urusan ummat, meluruskan tingkah laku dan memberikan nasehat kepada mereka, disamping memperhatikan semua urusan dan kepentingan kaum muslimin.
A. Darul Islam dan Darul Kufur
Darul Islam adalah dar (wilayah) yang di dalamnya diterapkan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan, serta dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya hanya berlandaskan Islam semata, yakni sistem pertahanan negara harus berdasarkan Islam, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim.
Sedangkan Darul Kufur adalah dar (wilayah) yang di dalamnya diterapkan hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, dan atau keamanannya berlandaskan selain Islam, yakni sistem pertahanan negara dijalankan berdasarkan selain Islam (dikuasai oleh orang-orang kafir), sekalipun sebagian besar penduduknya adalah muslim.
Dari batasan ini, suatu wilayah dikategorikan ke dalam Darul Islam atau Darul Kufur, berdasarkan hukum yang diterapkan di dalam wilayah tersebut dan atau sistem keamanan yang berlaku di dalamnya, sedangkan agama mayoritas atau minoritas bukanlah menjadi ukuran. Negeri-negeri kaum muslimin dewasa ini tidak satupun yang melaksanakan hukum Islam dalam masalah pemerintahan apalagi dalam seluruh aspek kehidupan. Secara keseluruhan, tanpa kecuali, negeri-negeri itu termasuk kategori Darul Kufur sekalipun penduduknya Kaum muslimin.
Kenyataan ini mewajibkan kaum muslimin seluruhnya untuk berusaha mengubah negeri-negeri mereka dari bentuk Darul Kufur menjadi Darul Islam dengan cara mendirikan suatu Negara Islam yang berbentuk Khilafah. Mengangkat, dan membai’at Khalifah untuk menjalankan urusan pemerintahannya berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah, yakni menerapkan Islam di seluruh negeri tempat berdirinya Khilafah. Kemudian bersama negara Khilafah berusaha menggabungkan Negeri-negeri Islam lainnya. Dengan cara ini, negeri-negeri kaum muslimin akan berubah menjadi Darul Islam. Kemudian, mereka diwajibkan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan jalan dakwah dan jihad.
B. J i h a d
Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam peperangan di jalan Allah untuk meninggikan kalimatNya, menyebarkan dakwah Islam baik secara langsung, maupun dengan harta, pendapat, memperbanyak barisan dan lain-lain.
Atas dasar ini maka perang untuk meninggikan kalimat Allah dan menyebarkan Islam adalah termasuk jihad. Jihad merupakan fardlu atas seluruh kaum muslimin dan kewajibannya telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah yang disebutkan dalam puluhan ayat serta hadits yang mewajibkannya.
Jihad adalah fardlu kifayah untuk memulainya. Bila musuh menyerang, maka ia menjadi fardlu ‘ain (atas setiap muslim). Pengertian fardlu kifayah ini adalah sikap penyerangan terhadap musuh Islam, walaupun musuh tersebut belum mulai menyerang. Jika tidak seorangpun di antara kaum muslimin pada kurun tertentu yang mau memulai perang jihad, maka seluruh kaum muslimin berdosa karena meninggalkan kewajiban ini. Oleh karena itu, jihad bukan merupakan perang yang bersifat defensif, akan tetapi ia adalah bentuk perang ofensif untuk meninggikan kalimat Allah. Perang ofensif tersebut wajib dilakukan untuk menyebarkan Islam dan mengemban dakwahnya. Jihad tetap dilaksanakan walaupun orang-orang Kafir tidak menyerang kaum muslimin.
C. Hubungan Internasional
Hubungan Negara Islam dengan negara lain di dunia ini wajib disesuaikan dengan hukum-hukum Islam, yang harus dilakukan seperti yang dipaparkan di bawah ini:
(1) Negara-negara yang ada dewasa ini di dunia Islam seluruhnya dianggap berdiri dalam satu wilayah. Kaum muslimin adalah satu umat yang berbeda dengan umat manusia lainnya. Oleh karena itu, wajib bersatu dalam satu kesatuan negara yang padu dan kekuasaan yang satu. Hubungan antar sesama kaum Muslimin (negeri-negeri Islam) ini tidak dikategorikan ke dalam hubungan maupun politik luar negeri. Melainkan dianggap sebagai bagian dari politik dalam negeri, sehingga tidak ada hubungan diplomasi, tidak ada perjan jian apapun, dan wajib dilaksanakan persatuan seluruh negeri-negeri tersebut dalam satu wadah Negara, yaitu negara Khilafah. Juga penduduk negeri-negeri itu tidak disebut orang asing jika negara mereka termasuk dalam kategori Darul Islam, mereka diperlakukan sebagai rakyat negara khilafah. Berbeda halnya jika negara mereka masih merupakan Darul Kufur (belum bergabung dengan negara Khilafah), maka mereka diperlakukan sebagai penduduk Darul Kufur.
(2) Negara-negara lain, baik yang berada di Barat maupun di Timur, seluruhnya dianggap Darul Kufur dan statusnya menurut syara’ adalah termasuk Darul Harb, sekalipun tidak memerangi ummat Islam. Hubungan dengan mereka dimasukkan ke dalam kategori politik luar negeri dan ditentukan sesuai dengan keperluan jihad, kemashlahatan kaum muslimin dan kepentingan negara Khilafah berdasarkan ketentuan hukum syara’.
(3) Diperbolehkan dengan negeri-negeri tersebut di atas mengadakan perjanjian ketetanggaan, perjanjian perdagangan dan ekonomi ataupun perjanjian ilmiah (penelitian, riset dan teknologi), atau perjanjian dalam bidang pertanian, dan perjanjian-perjanjian lainnya yang memang dibolehkan menurut syara’. Perjanjian-perjanjian tersebut harus ditentukan jangka waktunya, dan harus diadakan sesuai dengan tuntutan jihad dan kepentingan kaum muslimin, serta kemaslahatan negara Khilafah.
Sikap dan perlakuan terhadap negara-negara tersebut ditentukan sesuai dengan teks perjanjian. Disamping itu perjanjian di bidang perdagangan dan ekonomi harus dibatasi dengan menyebut jenis barang, tempo perjanjian dan persyaratan-persyaratan tertentu yang mengacu kepada kebutuhan kaum Muslimin, dengan syarat: perjanjian-perjanjian itu tidak boleh memperkuat kedudukan negara-negara kafir tersebut. Rakyat negara-negara tersebut boleh memasuki wilayah negara khilafah dengan KTP (kartu penduduk) tanpa memerlukan pasport, apabila isi teks perjanjian dengan negara-negara mereka mencantumkan hal seperti ini dan dengan syarat hal itu berlaku secara timbal balik.
(4) Negara-negara lain yang tidak memiliki hubungan perjanjian dengan negara khilafah, seperti negara-negara Imperialis Amerika, Inggris, Perancis, atau negara-negara serakah yang ingin mengua sai daerah kaum muslimin, seperti Rusia, dianggap sebagai negara-negara musuh (Muharibah Hukman) ditinjau dari segi hukum, bukan dari segi fakta (kenyataan perang). Terhadap mereka diambil langkah-langkah waspada dan siaga penuh serta tidak akan diadakan hubungan diplomatik dengan mereka, bahkan tidak diizinkan membuka kedutaan atau kantor konsulat di negara Khilafah. Terhadap pendu duknya setiap kali akan masuk negara khilafah harus meminta izin kepada negara (visa) dan harus pula membawa passport.
(5) Negara-negara musuh yang memerangi umat dan negara secara nyata (Muharribah Fi’lan), seperti Israel, maka terhadap negara ini diambil sikap siaga perang sebagai satu-satunya tindakan yang menentukansikap dan perlakuan terhadap mereka. Mereka diperlakukan sebagai yang mengumumkan peperangan terhadap negara khilafah tanpa memperhatikan lagi adanya gencatan senjata maupun perang dengan mereka. Tak satu orangpun dari penduduknya diizinkan memasuki wilayah negeri-negeri Islam. Darah dan harta mereka halal bagi kaum muslimin, kecuali terhadap orang-orang yang masuk Islam dari kalangan mereka.
Terhadap negara-negara yang memerangi kita, dibolehkan mengadakan perjanjian gencatan senjata, tetapi waktunya ditentukan (untuk sementara saja), tidak boleh selama-lamanya. Sebab, gencatan senjata yang berlaku selama-lamanya akan menghentikan peperangan jihad.
Jika salah satu negara musuh yang memerangi ummat Islam telah menduduki salah satu wilayah Islam, seperti halnya Israel yang telah menduduki Palestina, maka syara’ mengharamkan adanya perjanjian damai dengan mereka sekalipun daerah yang diduduki itu hanya sejengkal tanah. Sebab, mereka telah merebut (merampas)nya secara paksa. Mengadakan perjanjian damai dengan mereka adalah bagaikan menyerahkan salah satu wilayah Islam dicaplok serta memberikan hak penguasaan atas tanah tersebut dan kaum muslimin. Hal ini sama sekali tidak diperbolehkan oleh syara’. Islam mewajibkan atas seluruh kaum Muslimin untuk memerangi dan menumpas mereka serta membebaskan wilayah-wilayah kaum muslimin dari kekuasaan mereka. Sedangkan Allah SWT berfirman:
“(Dan) Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS An Nisa: 141)
“Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS Al Baqarah: 194)
(6) Bagi negara Khilafah tidak diperkenankan mengadakan pejanjian kerjasama militer (Pakta Pertahanan) dengan negara-negara lain, seperti bentuk perjanjian pertahanan bersama atau perjanjian keamanan bersama. Termasuk di dalamnya memberikan fasilitas militer, seperti menyewakan pangkalan militer, landasan pesawat terbang, atau dermaga kapal perang. Semua bentuk perjanjian itu diharamkan Islam. Bagi kaum muslimin diharamkan mengadakan perjanjian dengan negara-negara kafir. Sebab, telah diharamkan atas kaum muslimin berperang di bawah panji-panji kafir, untuk mencapai suatu tujuan kufur (mempertahankan ideologi kufur), atau atas nama negara kafir dan atau menjadikan orang-orang kafir lebih leluasa mengutak-atik kekuasaan kaum muslimin maupun wilayah Islam.
(7) Tidak dibolehkan meminta bantuan militer kepada negara-negara kafir, atau kepada pasukan kafir Sebab, Rasulullah saw telah melarang kaum muslimin mengambil penerangan dari orang-orang kafir atau musyrik. Sabda Rasulullah saw:
“Jangan kalian mencari penerangan dari api kaum musyrikin.” (Musnad Imam Ahmad, jilid III, hal. 99; Sunan An Nasai, jilid VIII, hal. 177)
Api disini merupakan kiasan dari perang, yang berarti tidak boleh berperang di bawah panji orang-orang musyrik. Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda:
“Kita tidak minta bantuan (militer)pada orang-orang musyrik”. (Sunan Abu Dawud, no. 2732) Juga, kita dilarang mengambil pinjaman/bantuan dari negara-negara tersebut, karena bantuan itu memakai sistem bunga yang merupakan riba dan telah diharamkan syara’. Juga, bantuan tersebut justru merupakan alat untuk membangun dominasi kekuasaan negara-negara kafir terhadap kaum muslimin dan negaranya. Ini dilarang berdasarkan kaedah syara’:
“Sesuatu yang menghantarkan kepada yang haram adalah (menjadi) haram pula.”
Begitu juga tidak dibenarkan bagi kaum muslimin untuk menyerahkan seluruh permasalahan/urusannya ke tangan negara-negara kafir untuk dicarikan jalan keluarnya, seperti menyerahkannya kepada Amerika, Rusia, Inggris, dan Perancis; sebab berlindung kepada negara-negara kafir dan pasukan mereka atau menyerahkan urusan kita ke tangan mereka, ini berarti membuka peluang bagi negara-negara tersebut untuk menguasai dan mendominasi kaum muslimin, juga merupakan jalan untuk menguasai kaum muslimin baik lang sung maupun tidak. Sedangkan Allah telah mengharamkan hal tersebut atas kaum muslimin.
Begitu pula kaum muslimin tidak dibenarkan bergabung dengan organi sasi-organisasi internasional, seperti PBB, Bank Dunia, atau Dana Moneter Internasional (IMF). Sebab, semua badan ini berasaskan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Dan lembaga-lembaga tersebut telah dijadikan alat oleh negara-negara besar, khususnya Amerika, untuk mencapai maksud dan kepentingan mereka. Semua lembaga ini telah lama menjadi perantara yang melahirkan pengaruh dan kekuasaan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin serta daerah-daerahnya. Bergabung dengan mereka tidak dibe narkan secara syar’i. Sebab, menurut kaedah syara’ sesuatu yang menghantarkan kepada yang haram, maka ia menjadi haram.
Begitu juga, kaum muslimin tidak dibenarkan bergabung dengan organisasi dan pakta regional, seperti Liga Arab, OKI, Pakta Pertahanan Bersama, dsb. Sebab, semua organisasi ini berdiri atas dasar yang bertentangan dengan Syariat Islam. Jenis organisasi inilah yang menyebabkan abadinya perpecahan negeri-negeri Islam, sekaligus menghalang-halangi bersatunya di bawah naungan satu negara, yaitu Negara Khilafah Islam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar