PEMUDA ISLAM

WAHAI PARA PEMUDA ISLAM BERGABUNGLAH BERSAMA BARISAN PEJUANG PENEGAK SYARIAH DAN KHILAFAH ISLAM

Sabtu, 28 Mei 2011

Hukum Jual Beli di Teras Masjid dan Apakah Halaman Masjid Termasuk Masjid?

Pertanyaan:
Bismillah. Assalamu’alaikum. Ustadz, apakah teras luar masjid termasuk masjid yang kita dilarang berjualan di situ? Dan apa batasan suatu itu termasuk bagian dari masjid? Tolong dijawab, ustadz, karena di tempat ana terjadi konflik tentang masalah tersebut. Jazakallahu khairan.

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Tidak diragukan lagi bahwa masjid didirikan untuk menegakkan peribadahan kepada Allah Ta’ala; ber-tasbih, mendirikan shalat, membaca kalam Ilahi, dan berdoa kepada-Nya,
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ رِجَالُُ لاَّتُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَبَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَاْلأَبْصَار
“Di rumah-rumah yang di sana Allah telah memerintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, di sana ber-tasbih (menyucikan)-Nya pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hari dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. an-Nur: 36-37).
Pada ayat ini dijelaskan bahwa masjid adalah tempat untuk menegakkan ibadah kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana dijelaskan bahwa orang-orang yang benar-benar menegakkan peribadatan kepada-Nya tidaklah menjadi terlalaikan atau tersibukkan dari peribatannya hanya karena mengurusi perniagaan dan pekerjaannya. Apalagi sampai menjadikan masjid sebagai tempat untuk berniaga.
إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجِلَّ وَتاصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya, masjid-masjid ini hanyalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, shalat, dan bacaan al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 285).
Demikianlah karakter orang-orang yang memakmurkan rumah-rumah Allah. Tidak heran bila Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menggunakan masjid sesuai fungsinya dengan berfirman,
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ فَعَسَى أُوْلاَئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. at-Taubah: 18).
Sebagai konsekuensi dari ini, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari berniaga di dalam masjid. Beliau bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ
“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. at-Tirmidzi, no. 1321, dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits shahih dalam Irwa’ul Ghalil, 5/134, no. 1295).
Dahulu, Atha’ bin Yasar bila menjumpai orang yang hendak berjualan di dalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, “Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (HR. Imam Malik dalam al-Muwaththa’, 2/244, no. 601).
Berdasarkan ini semua, banyak ulama yang mengharamkan jual-beli di dalam masjid.
Adapun teras masjid yang ada di sekeliling masjid, bila berada dalam satu kompleks (areal) dengan masjid –karena masuk dalam batas pagar masjid–, maka tidak diragukan hukum masjid berlaku padanya. Hal ini karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan,
الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَه
“Sekelilingnya sesuatu memliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” (Al-Asybah wan Nazha’ir: 240, as-Suyuthi).
Kaidah ini disarikan oleh para ulama ahli fikih dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ
“Sesungguhnya yang halal itu nyata, dan yang haram pun nyata. Sedangkan antara keduanya (halal dan haram) terdapat hal-hal yang diragukan (syubhat) yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka barangsiapa menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga keutuhan agama dan kehormatannya. Sedangkan barangsiapa yang terjatuh ke dalam hal-hal syubhat, niscaya ia terjatuh ke dalam hal haram. Perumpamaannya bagaikan seorang penggembala yang menggembala (gembalaannya) di sekitar wilayah terlarang (hutan lindung), tak lama lagi gembalaannya akan memasuki wilayah itu. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki wilayah terlarang. Ketahuilah, bahwa wilayah terlarang Allah adalah hal-hal yang Dia haramkan.” (HR. al-Bukhari, no. 52 dan Muslim, no. 1599).
Akan tetapi, bila teras tersebut berada di luar pagar masjid, atau terpisahkan dari masjid oleh jalan atau gang, maka hukum masjid tidak berlaku padanya. Demikianlah yang difatwakan oleh Komite Tetap Fatwa Kerajaan Arab Saudi yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, pada Fatwa no. 11967. Wallahu Ta’ala A’lam bishshawab.
Dijawab oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A dalam Majalah Al Furqon, Edisi 2 tahun ke-10, 1431 H/ 2010 M
sumber : http://konsultasisyariah.com/hukum-jual-beli-teras-masjid
Apakah Halaman Masjid Termasuk Masjid?
Penjelasan lanjutan dari pembahasan Berjualan di Halaman Masjid. Semoga bermanfaat.
رحبة المسجد
Halaman Masjid
الرحبة: بفتح الراء وسكون الحاء أو بفتحهما: الأرض الواسعة، ورحبة المكان: ساحته ومتسعه وجمعه: رحاب.
ورحبة المسجد: ساحته و صحنه (المصبح المنير 1|222 مادة (رحب) وإكمال إكمال المعلم 3|288).
Rohbah atau rohabah adalah tanah yang luas. Jika kata-kata rohbah dikaitkan dengan tempat tertentu maknanya adalah halaman yang luas dari tempat tersebut.
Sehingga pengertian rohbah masjid adalah halaman masjid. (Mishbah al Munir 1/222 dan Ikmal Ikmal al Mu’allim 3/288).
واختلف أهل العلم في دخولها مسمي المسجد وخروج المعتكف إليها على الأقوال الآتية:
Para ulama berselisih pendapat apakah halaman masjid itu termasuk masjid ataukah tidak. Konsekuensi hal ini adalah apakah orang yang sedang iktikaf boleh keluar dari ruang utama masjid lalu berada di halaman masjid tanpa menyebabkan batalnya iktikafnya ataukah tidak. Ada tiga pendapat tentang hal ini.
القول الأول: إن كانت متصلة بالمسجد داخلة في سوره فهي من المسجد وإن كانت غير متصلة به ولا محوطة بسياجه فليست منه.
Pendapat pertama, jika halaman masjid tersebut bersambung dengan masjid dan berada di dalam pagar masjid maka halaman masjid tersebut adalah bagian dari masjid. Namun jika halaman tersebut tidak bersambung dengan masjid dan tidak berada di dalam pagar masjid maka halaman tersebut bukanlah bagian dari masjid.
وبه قال الشافعية وهو رواية عن أحمد وبه قال القاضي من الحنابلة.
Inilah pendapat para ulama bermazhab Syafii, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pendapat yang dipilih oleh Qadhi Abu Ya’la salah seorang ulama bermazhab Hanbali.
قال النووي: المراد بالرحبة ما كان مضافا إلى المسجد محجرا عليه وهو من المسجد نص الشافعي على صحة الاعتكاف فيها (المجموع 6|507)
An Nawawi asy Syafii mengatakan, “Yang dimaksud dengan halaman masjid adalah areal yang melekat pada bangunan masjid dan berada di dalam pagar masjid. Halaman masjid semisal ini adalah bagian dari masjid. Dengan tegas Imam Syafii mengatakan sahnya iktikaf di halaman masjid semisal ini” (al Majmu’ 6/507).
وقال المردوي: رحبة المسجد ليست منه علي الصحيح من المذهب والروايتين … وعنه- أي الإمام أحمد- أنه منه… وجمع القاضي بينهما في موضع من كلامه فقال: إن كانت محوطة فهي منه وإلا فلا… وقدم هذا الجمع في المستوعب وقال: من أصحابنا من جعل المسألة على روايتين والصحيح أنها رواية واحدة على اختلاف الحالين أهـ. (الإنصاف 3| 364).
Al Mardawi al Hanbali mengatakan, “Halaman masjid itu bukanlah bagian dari masjid menurut pendapat yang benar dalam mazhab Hanbali dan pendapat yang dinilai paling kuat diantara dua pendapat Imam Ahmad dalam masalah ini. Pendapat Imam Ahmad yang lain mengatakan bahwa halaman masjid adalah bagian dari masjid. Qadhi Abu Ya’la berusaha memadukan dua pendapat Imam Ahmad ini dengan mengatakan bahwa jika halaman masjid itu berada di dalam pagar masjid maka halaman masjid adalah bagian dari masjid. Jika tidak maka tidak. Pendapat Qadhi Abu Ya’la ini dinilai sebagai pendapat yang tepat dalam kitab al Mustau’ib. Penulis kitab al Mustau’ib mengatakan bahwa sebagian ulama bermazhab Hanbali beranggapan bahwa dalam masalah ini Imam Ahmad memiliki dua pendapat. Padahal yang benar Imam Ahmad hanya memiliki satu pendapat dalam masalah ini namun dengan membedakan antara halaman yang berada di dalam pagar masjid dengan halaman masjid yang tidak dikelilingi pagar masjid” (al Inshaf 3/364).
ودليله قوله تعالى: ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد (البقرة:187).
وإذا كانت الرحبة محوطة متصلة بالمسجد فهي منه.
Dalil pendapat ini adalah firman Allah yang artinya, “Jika kalian mencumbu istri-istri kalian ketika kalian sedang beriktikaf di masjid’ (QS al Baqarah:187). Jika halaman tersebut dikelilingi pagar masjid dan menyatu dengan bangunan masjid maka halaman adalah bagian dari masjid.
القول الثاني: أنها ليست من المسجد فلا يصح الاعتكاف فيها
Pendapat kedua mengatakan bahwa halaman masjid itu bukan bagian dari masjid sehingga iktikaf di sana tidaklah sah.
وهو المشهور عند المالكية (إكمال إكمال المعلم 3|288، وشرح الزرقاني 2|206، ومواهب الجليل 2|455، والشرح الكبير وحاشيته 1|542).
والمصحح عند الحنابلة من المذهب (المغني4|487 والمبدع3|68 والإنصاف3|364).
Inilah pendapat yang terkenal di antara para ulama bermazhab Maliki sebagaimana dalam Ikmal Ikmal al Mu’allim 3/288, Syarh al Zarqani 2/206, Mawahib al Jalil 2/455 dan al Syarh al Kabir beserta penjelasannya 1/542.
Demikian pula pendapat ini adalah pendapat yang menurut para ulama bermazhab Hanbali adalah pendapat yang paling tepat dalam mazhab Hanbali sebagaimana dalam al Mughni 4/487, al Mubdi’ 3/68 dan al Inshaf 3/364.
واستدلوا بما ورد عن عائشة رضي الله عنها قالت: كن المعتكفات إذا حضن أمر رسول الله-صلى الله عليه و سلم – بإخراجهن من المسجد وأن يضربن الأخبية في رحبة المسجد حتى يطهرن.
Mereka berdalil dengan perkataan Aisyah, “Para wanita yang beriktikaf jika sedang haid diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluar dari masjid dan memasang bilik-bilik iktikaf mereka di halaman masjid sampai mereka suci dari haid”.
ونوقش بحمله على رحبة ليست محوطة.
Dalil ini bisa dibantah dengan kita katakan bahwa dalil tersebut adalah tepat pada tempatnya jika halaman masjid tersebut tidak berada di dalam pagar masjid.
القول الثالث: أنه يصح الاعتكاف فيها إذا ضرب خباءه فيها
Pendapat ketiga mengatakan bahwa beriktikaf di halaman masjid itu sah jika bilik iktikaf dipasang di halaman masjid.
وهو قول للامام مالك.
Inilah pendapat Imam Malik.
قال مالك: لا يبيت المعتكف إلا في المسجد الذي اعتكف فيه ألا أن يكون خباءه في رحبة من رحاب المسجد (المدونة مع المقدمات 2|203، والموطأ مع المنتقى 2|79 وإكمال إكمال المعلم 3|288).
Imam Malik mengatakan, “Seorang yang sedang beriktikaf tidak boleh menginap kecuali di dalam masjid yang dia pergunakan untuk iktikaf kecuali jika bilik iktikafnya berada di halaman masjid” (al Mudawwanah yang dicetak bersama al Muqaddimat 2/203, al Muwatha yang dicetak bersama dengan al Muntaqa 2/79 dan Ikmal Ikmal al Mu’allim 3/288).
ولعله دليله ما تقدم من حديث عائشة رضي الله عنها
Boleh jadi dalil Imam Malik adalah perkataan Aisyah di atas.
وأقرب الأقوال هو القول الأول. والله أعلم.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama, wallahu a’lam.
فقه الاعتكاف تاليف د. خالد بن علي المشيقح ص 129- 131 دار أصداء المجتمع، بريدة قصيم السعودية، 1419 هـ.
Sumber: Fikih I’tikaf karya Syaikh Dr Khalid bin Ali bin Muhammad al Musyaiqih-murid senior Syaikh Ibnu Utsaimin-halaman 129-131 terbitan Dar Ashda’ al Mujtama’, Buraidah Qashim KSA terbitan tahun 1419 H.
Catatan:
Tentang status halaman masjid kita jumpai dua pendapat ulama. Ada yang merinci dan ada yang berpendapat bahwa halaman masjid itu bukanlah bagian dari masjid.
Pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah dengan merinci apakah masjid tersebut memiliki pagar masjid ataukah tidak. Jika masjid tidak memiliki pagar maka halaman masjid adalah bukan masjid. Jika masjid memiliki pagar maka halaman masjid yang berada di dalam pagar adalah bagian dari masjid sehingga berlaku padanya segala ketentuan-ketentuan untuk masjid semisal sah iktikaf di sana dan dilarang mengadakan transaksi jual beli di sana. Inilah pendapat yang dinilai lebih kuat oleh Syaikh Ibnu Baz dan Lajnah Daimah.
Oleh karena itu, terlarang hukumnya berdagang ataupun promosi dagangan di halaman masjid yang berada di dalam pagar masjid semisal halaman Masjid Kampus UGM.
Kami menghormati orang yang memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat yang kami pilih jika dia memilih pendapat tersebut karena berpandangan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang lebih kuat ditinjau dari dalilnya. Akan tetapi adalah tercela orang yang mengambil pendapat yang lain dikarenakan itulah yang cocok dan selaras dengan selera dan hawa nafsunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar